Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh...
DI TANGAN siapakah kebenaran berada? Apakah di tangan penguasa? Apakah ditangan ilmuwan? Apakah ditangan agamawan? Apakah di tangan rakyat dan umat? Apakah di tangan pembela kebenaran? Apakah di tangan tuhan?
Pembahasan tentang hal ini sama tuanya dengan peradaban manusia. Sepanjang usianya manusia selalu mencari kebenaran. Karena memang fitrahnya demikian. sayangnya, proses pencarian kebenaran itu seringkali di sertai oleh kepentingan - kepentingan yang bersifat egois personal kepentingan kelompok. Sehingga terjadi perebutan kelompok.
Ketika sudah dibingkai oleh kepentingan, maka kebenaran pun menjadi hanya buat orang-orang yang di untungkan oleh ‘kebennaran‘ itu. Maka, muncul istilah : ‘kebenaranku’, ‘kebenaranmu’, dan ‘kebenaranya’. Atau dalam bentuk jamak menjadi : ‘kebenaran kami’, ‘kebenaran kalian’ dan ‘kebenaran mereka’.
Dalam skala yang berbeda, muncul pula kebenaran penguasa, kebenaran rakyat, kebenaran ilmiah, dan kebenaran agama. Itu pun masih di pertanyakan lagi : penguasa yang mana, rakyat yang mana, ilmiah yang mana, dan agama siapa?
Di dalam agama yang sama pun masih di pertanyakan aliranya, mazhabnya, tokoh dan ulamanya, gurunya, ormasnya, kitab bacaanya, dan kalau perlu partai politiknya...! hehehe.....
Di dalam partai politik yang sama juga masih dipertanyakan : fraksinya, politikusnya, tujuanya dan kepentinganya, besar sumbanganya, manfaat bagi kawan ‘seperjuanganya’, dan potensi bagi kelangsungan kekuasaanya...?
Jadi, yang namanya kebenaran itu lantas menjadi kabur substansinya. Yang ada hanyalah hiruk pikuk untuk merebut ‘kebenaran’, tanpa tahu lagi apa yang disebut dengan kebenaran.
Ternyata yang selama ini kita perebutkan itu sangat boleh jadi bukan kebenaran, melainkan kepentingan. Jika sesuai dengan kepentingan kita, maka kita sebutlah itu sebagai ‘kebenaran’. Dan jika bertabrakan dengan kepentingan kita, maka kita sebutlah itu sebagai ‘bukan kebenaran’.
Jika hal itu terjadi didalam wilayah sosial, politik, ekonomi dan berbagai wilayah hablum minannas, saya kira itu tidak bermasalah. Karena ukuran kebenaran dalam wilayah ini adalah kemaslahatan bersama (Rahmatan lil alamin). Selama hal ini memberikan kemanfaatan untuk orang banyak – bukan hanya kelompok dan golongan tertentu – maka bolehlah ‘kebenaran’ itu diambil sebagai kebenaran. Kalau bisa, bukan hanya ‘kebenaranku’ dan ‘kebenaran kami ‘. Atau juga bukan hanya ‘kebenaranmu’ dan ‘kebenaran kalian’, melainkan ‘ kebenaran kita’.
Dan memang begitulah kaidah fiqh-nya. Jika ada tabrakan antara dua kepentingan atau lebih, maka ambillah yang paling besar manfaatnya untuk umat.
Memang, pasti juga masih ada yang tidak puas. Dan tidak menganggapnya sebagai ‘kebenaran’, Terutama pihak yang dirugikan. Tidak apa-apa. Setidak-tidaknya lebih banyak yang merasakan manfaat dari ‘kebenaran’ itu. Asal tidak menjadi arogansi mayoritas. Sehingga mengorbankan kepentingan minoritas.
Karena jika diterus-teruskan, arogansi mayoritas juga bisa memunculkan masalah di kemudian hari , yang merugikan mayoritas itu sendiri. Begitulah memang wilayah hablum minannas harus diperlakukan. Selalu ada tarik menarik kepentingan. Asal dikelola secara jujur dan adil dengan melibatkan umat secara kolektif, insya Allah akan berjalan di atas ‘rel yang benar ‘ .
Berbeda dengan wilayah kebenaran yang bersifat hablum minallah. Ukuran kebenaran nya tidak bisa diklaim oleh manusia. Karna yang tau hanya allah saja. Sangat bersifat personal antara seorang hamba dengan Tuhannya.
Karena wilayah hablum minallah ini memang sangat spesifik melibatkan seorang hamba secara personal dengan Tuhanya. Bahkan kalau perlu orang lain tidak usah tahu. Berapa Anda berinfak. Berapa banyak anda shalat. Seikhlas apa puasa yang anda jalankan. Dan setulus apa ibadah haji yang anda lakukan. Semuanya memiliki sifat spesifik antara seorang hamba dengan Allah. Semakin rahasia semakin bagus nilainya.
Sayangnya banyak yang mencampuradukkan antara kebenaran hablum minannas dengan kebenaran yang bersifat hablum minallah. Padahal itu adalah wilayah yang berbeda. Meski pun memiliki titik persinggungan di sisi tauhid, yaitu bahwa semuanya ibadah kita haruslah karena Allah semata. Bukan karena kepentingan sempit.
Berpolitik dan berekonomi misalnya, dalam ajaran islam haruslah Lillahi ta’ala – karena Allah semata. Tidak boleh egois – personal maupun kelompok. Melainkan untuk kepentingan yang lebih besar, Lillahi ta’ala bukan bermakna “untuk Allah”, sebab Allah memang tidak butuh apa-apa. Melainkan bermakna “karena Allah”. Karena perintah Allah. Yaitu : berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya, sebagaimana Dia telah banyak berbuat kebajikan buat kita. Untuk kemaslakhatan ummat. Rahmatan lil alamin.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al Qashash (28): 77).
Maka, Allah meletakkan kebenaran politik dan ekonomi itu bukan pada siapa pelakunya, melainkan lebih kepada ‘besarnya kemaslakhatan’ yang diakibatkan olehnya. Semakin besar manfaatnya buat ummat, semakin benarlah berpolitik dan berekonominya. Tetapi semakin banyak menyengsarakan ummat, semakin salahlah cara berpolitik dan berekonominya.
Jadi tidak benar, kalau ada seseorang yang berpolitik dan berekonomi mengklaim apa yang dilakukannya sebagai kebenaran Tuhan. Dan lantas, mengindoktrinasi lawan politiknya atau mintra bisnisnya agar dibenarkan segala apa yang dilakukannya.
Coba lihatlah Abu Bakar ketika terpilih sebagai khalifah pertama, pengganti Rasulullah saw. Beliau berpidato agar ummat terus mencermati dan mengkritisi kepemimpinannya. Jika ia benar dan memberi kemaslakhatan besar pada ummat, maka ia minta untuk diikuti. Akan tetapi, jika ia salah dan menciderai ummat, maka ia minta diingatkan dan diluruskan. Maka berdirilah salah seorang sahabat sambil menghunus pedangnya. Ia mengatakan, jika sangkhalifah tidak bisa diingatkan dan diluruskan, ia bakal mengingatkan dengan pedangnya.
Begitulah seharusnya ummat islam mengelola proses beragamanya di wilyah hablum minannas. Tidak ada kebenaran mutlak. tidak ada tokoh, sekaliber apapun, yang berhak menglklaim dirinya paling benar. Kecuali Rasulullah saw yang memang menjadi utusan Allah, dan menjadi tauladan dalam menerapkan ajaran kebenaran mutlak yang datang dari Allah. Selebihnya, harus salling mengkritisi dan saling mengoreksi diantara sesama ummat islam. Tawasau bil haq tawasau bish shabr. Saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.
Lantas, kalau begitu, di tangan siapakah kebenaran mutlak berada? Dan dimanakah, serta kapankah kita memperolehnya? Kebenaran mutlak hanyalah milik Allah, dibawa dan disiarkan oleh Rasul-Nya. Maka, ketika Rasul saw sudah wafat. Kebenaran itu tinggal milik Allah saja.
Jadi, kalau kita ingin memperolehnya, ya kita harus kontak sendiri dengan Allah. Dimana? Ya di dalam firman-firman-Nya. Di dalam ayat-ayat-Nya. Yang qauliyah maupun yang kauniyah. Yang qauliyah tersimpan di dalam Al Qur’an al Karim. Sedangkan yang kauniyah terhampar dalam kenyataan alam semesta. Bagaimana cara memperolehnya? Tentu saja dengan cara memahaminya.......
Apakah kalau kita sudah memahaminya, berarti kita telah memperoleh kebenaran mutlak, dan berhak mengklaim diri paling benar? Ternyata tidak. Karena apa yang kita pahami dari ayat-ayat itu tidak bersifat mutlak lagi. Kebenaran mutlak tetap saja tersimpan di dalam Al Qur’an dan realitas alam semesta.
Ketika sudah menjadi kepahaman, ternyata sifatnya telah berubah menjadi kebenaran relatif. Seiring dengan kemanpuan kita dalam memahaminya. Semakin tinggi ilmu kita, semakin tinggi pula tingkat kebenaran yang kita peroleh. Tapi tetap saja bukan kebenaran mutlak. Karena pemahaman kita itu akan terus berkembang dan meningkat seiring dengan bertambahnya ilmu.
Karena itu, Allah sangat menghargai orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan tinggi. Merekalah orang-orang yang berpontensi untuk memperoleh hikmah-hikmah kebenaran yang semakin tinggi pula dari dalam al-Qur’an al karim. Merekalah yang disebut sebagai ulama. Dan hanya merekalah orang-orang yang takut kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Karena telah berinteraksi dengan kebenaran sejati. Sementara dia tahu bahwa kebenarannya hanya kebenaran relatif sebagai seorang hamba yang lemah.
“Dan demikian( pula ) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya ). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. ( Al Faathir (35):28).
---oooOOOooo---
DI TANGAN siapakah kebenaran berada? Apakah di tangan penguasa? Apakah ditangan ilmuwan? Apakah ditangan agamawan? Apakah di tangan rakyat dan umat? Apakah di tangan pembela kebenaran? Apakah di tangan tuhan?
Pembahasan tentang hal ini sama tuanya dengan peradaban manusia. Sepanjang usianya manusia selalu mencari kebenaran. Karena memang fitrahnya demikian. sayangnya, proses pencarian kebenaran itu seringkali di sertai oleh kepentingan - kepentingan yang bersifat egois personal kepentingan kelompok. Sehingga terjadi perebutan kelompok.
Ketika sudah dibingkai oleh kepentingan, maka kebenaran pun menjadi hanya buat orang-orang yang di untungkan oleh ‘kebennaran‘ itu. Maka, muncul istilah : ‘kebenaranku’, ‘kebenaranmu’, dan ‘kebenaranya’. Atau dalam bentuk jamak menjadi : ‘kebenaran kami’, ‘kebenaran kalian’ dan ‘kebenaran mereka’.
Dalam skala yang berbeda, muncul pula kebenaran penguasa, kebenaran rakyat, kebenaran ilmiah, dan kebenaran agama. Itu pun masih di pertanyakan lagi : penguasa yang mana, rakyat yang mana, ilmiah yang mana, dan agama siapa?
Di dalam agama yang sama pun masih di pertanyakan aliranya, mazhabnya, tokoh dan ulamanya, gurunya, ormasnya, kitab bacaanya, dan kalau perlu partai politiknya...! hehehe.....
Di dalam partai politik yang sama juga masih dipertanyakan : fraksinya, politikusnya, tujuanya dan kepentinganya, besar sumbanganya, manfaat bagi kawan ‘seperjuanganya’, dan potensi bagi kelangsungan kekuasaanya...?
Jadi, yang namanya kebenaran itu lantas menjadi kabur substansinya. Yang ada hanyalah hiruk pikuk untuk merebut ‘kebenaran’, tanpa tahu lagi apa yang disebut dengan kebenaran.
Ternyata yang selama ini kita perebutkan itu sangat boleh jadi bukan kebenaran, melainkan kepentingan. Jika sesuai dengan kepentingan kita, maka kita sebutlah itu sebagai ‘kebenaran’. Dan jika bertabrakan dengan kepentingan kita, maka kita sebutlah itu sebagai ‘bukan kebenaran’.
Jika hal itu terjadi didalam wilayah sosial, politik, ekonomi dan berbagai wilayah hablum minannas, saya kira itu tidak bermasalah. Karena ukuran kebenaran dalam wilayah ini adalah kemaslahatan bersama (Rahmatan lil alamin). Selama hal ini memberikan kemanfaatan untuk orang banyak – bukan hanya kelompok dan golongan tertentu – maka bolehlah ‘kebenaran’ itu diambil sebagai kebenaran. Kalau bisa, bukan hanya ‘kebenaranku’ dan ‘kebenaran kami ‘. Atau juga bukan hanya ‘kebenaranmu’ dan ‘kebenaran kalian’, melainkan ‘ kebenaran kita’.
Dan memang begitulah kaidah fiqh-nya. Jika ada tabrakan antara dua kepentingan atau lebih, maka ambillah yang paling besar manfaatnya untuk umat.
Memang, pasti juga masih ada yang tidak puas. Dan tidak menganggapnya sebagai ‘kebenaran’, Terutama pihak yang dirugikan. Tidak apa-apa. Setidak-tidaknya lebih banyak yang merasakan manfaat dari ‘kebenaran’ itu. Asal tidak menjadi arogansi mayoritas. Sehingga mengorbankan kepentingan minoritas.
Karena jika diterus-teruskan, arogansi mayoritas juga bisa memunculkan masalah di kemudian hari , yang merugikan mayoritas itu sendiri. Begitulah memang wilayah hablum minannas harus diperlakukan. Selalu ada tarik menarik kepentingan. Asal dikelola secara jujur dan adil dengan melibatkan umat secara kolektif, insya Allah akan berjalan di atas ‘rel yang benar ‘ .
Berbeda dengan wilayah kebenaran yang bersifat hablum minallah. Ukuran kebenaran nya tidak bisa diklaim oleh manusia. Karna yang tau hanya allah saja. Sangat bersifat personal antara seorang hamba dengan Tuhannya.
Karena wilayah hablum minallah ini memang sangat spesifik melibatkan seorang hamba secara personal dengan Tuhanya. Bahkan kalau perlu orang lain tidak usah tahu. Berapa Anda berinfak. Berapa banyak anda shalat. Seikhlas apa puasa yang anda jalankan. Dan setulus apa ibadah haji yang anda lakukan. Semuanya memiliki sifat spesifik antara seorang hamba dengan Allah. Semakin rahasia semakin bagus nilainya.
Sayangnya banyak yang mencampuradukkan antara kebenaran hablum minannas dengan kebenaran yang bersifat hablum minallah. Padahal itu adalah wilayah yang berbeda. Meski pun memiliki titik persinggungan di sisi tauhid, yaitu bahwa semuanya ibadah kita haruslah karena Allah semata. Bukan karena kepentingan sempit.
Berpolitik dan berekonomi misalnya, dalam ajaran islam haruslah Lillahi ta’ala – karena Allah semata. Tidak boleh egois – personal maupun kelompok. Melainkan untuk kepentingan yang lebih besar, Lillahi ta’ala bukan bermakna “untuk Allah”, sebab Allah memang tidak butuh apa-apa. Melainkan bermakna “karena Allah”. Karena perintah Allah. Yaitu : berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya, sebagaimana Dia telah banyak berbuat kebajikan buat kita. Untuk kemaslakhatan ummat. Rahmatan lil alamin.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al Qashash (28): 77).
Maka, Allah meletakkan kebenaran politik dan ekonomi itu bukan pada siapa pelakunya, melainkan lebih kepada ‘besarnya kemaslakhatan’ yang diakibatkan olehnya. Semakin besar manfaatnya buat ummat, semakin benarlah berpolitik dan berekonominya. Tetapi semakin banyak menyengsarakan ummat, semakin salahlah cara berpolitik dan berekonominya.
Jadi tidak benar, kalau ada seseorang yang berpolitik dan berekonomi mengklaim apa yang dilakukannya sebagai kebenaran Tuhan. Dan lantas, mengindoktrinasi lawan politiknya atau mintra bisnisnya agar dibenarkan segala apa yang dilakukannya.
Coba lihatlah Abu Bakar ketika terpilih sebagai khalifah pertama, pengganti Rasulullah saw. Beliau berpidato agar ummat terus mencermati dan mengkritisi kepemimpinannya. Jika ia benar dan memberi kemaslakhatan besar pada ummat, maka ia minta untuk diikuti. Akan tetapi, jika ia salah dan menciderai ummat, maka ia minta diingatkan dan diluruskan. Maka berdirilah salah seorang sahabat sambil menghunus pedangnya. Ia mengatakan, jika sangkhalifah tidak bisa diingatkan dan diluruskan, ia bakal mengingatkan dengan pedangnya.
Begitulah seharusnya ummat islam mengelola proses beragamanya di wilyah hablum minannas. Tidak ada kebenaran mutlak. tidak ada tokoh, sekaliber apapun, yang berhak menglklaim dirinya paling benar. Kecuali Rasulullah saw yang memang menjadi utusan Allah, dan menjadi tauladan dalam menerapkan ajaran kebenaran mutlak yang datang dari Allah. Selebihnya, harus salling mengkritisi dan saling mengoreksi diantara sesama ummat islam. Tawasau bil haq tawasau bish shabr. Saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.
Lantas, kalau begitu, di tangan siapakah kebenaran mutlak berada? Dan dimanakah, serta kapankah kita memperolehnya? Kebenaran mutlak hanyalah milik Allah, dibawa dan disiarkan oleh Rasul-Nya. Maka, ketika Rasul saw sudah wafat. Kebenaran itu tinggal milik Allah saja.
Jadi, kalau kita ingin memperolehnya, ya kita harus kontak sendiri dengan Allah. Dimana? Ya di dalam firman-firman-Nya. Di dalam ayat-ayat-Nya. Yang qauliyah maupun yang kauniyah. Yang qauliyah tersimpan di dalam Al Qur’an al Karim. Sedangkan yang kauniyah terhampar dalam kenyataan alam semesta. Bagaimana cara memperolehnya? Tentu saja dengan cara memahaminya.......
Apakah kalau kita sudah memahaminya, berarti kita telah memperoleh kebenaran mutlak, dan berhak mengklaim diri paling benar? Ternyata tidak. Karena apa yang kita pahami dari ayat-ayat itu tidak bersifat mutlak lagi. Kebenaran mutlak tetap saja tersimpan di dalam Al Qur’an dan realitas alam semesta.
Ketika sudah menjadi kepahaman, ternyata sifatnya telah berubah menjadi kebenaran relatif. Seiring dengan kemanpuan kita dalam memahaminya. Semakin tinggi ilmu kita, semakin tinggi pula tingkat kebenaran yang kita peroleh. Tapi tetap saja bukan kebenaran mutlak. Karena pemahaman kita itu akan terus berkembang dan meningkat seiring dengan bertambahnya ilmu.
Karena itu, Allah sangat menghargai orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan tinggi. Merekalah orang-orang yang berpontensi untuk memperoleh hikmah-hikmah kebenaran yang semakin tinggi pula dari dalam al-Qur’an al karim. Merekalah yang disebut sebagai ulama. Dan hanya merekalah orang-orang yang takut kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Karena telah berinteraksi dengan kebenaran sejati. Sementara dia tahu bahwa kebenarannya hanya kebenaran relatif sebagai seorang hamba yang lemah.
“Dan demikian( pula ) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya ). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. ( Al Faathir (35):28).
---oooOOOooo---
Labels:
KEBENARAN
Thanks for reading YANG MUTLAK DIBINGKAI OLEH YANG RELATIF. Please share...!
0 Comment for "YANG MUTLAK DIBINGKAI OLEH YANG RELATIF"