Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...
Dzikrullah, Itulah satelit menuju Allah di abad millennium ini. Allah menyebut kata Dzikr dalam Al-Qur’an 288 kali lebih, dengan tekanan pada makna Mengingat Allah hamper 90%, selebihnya bermakna sebagai peringatan, mengingatkan peristiwa, atau untuk menyebut gender laki-laki (dzakara).
Bahkan seluruh ubudiyah seorang hamba baik syari’at maupun hakikat, berujung pada puncak Dzikrullah, dalam kefanaan hamba, lalu kembali ke alam nyata lagi dengan syariat Dzikir berupa ibadah sehari-hari kita, mulai dari ritual wirid, sholat, puasa, zakat, haji dan ibadah social lainnya. Dan Dzikrullah menjadi ruh seluruh proses ibadah hamba. “Tegakkanlah sholat untuk berdzikir kedaKu,” firman Allah Ta’ala. Atau hadits Nabi saw. “Amal paling mulia adalah Dzikrullah.”
Begitu besar dan dahsyatnya urgensi Dzikrullah, sampai-sampai para hamba Allah tidak diberi dimensi ruang waktu dalam ubudiyah Dzikrullah ini. Satu-satunya ibadah tanpa batas ruang waktu dan hitungan. Sedangkan ritual wirid (wiridan) dengan jumlah tertentu, waktu tertentu, apakah sehabis sholat dan waktu khusus, adalah dalam rangka memasuki Wilayah Tembus Batas Dzikrullah itu sendiri. Karena itu dilatih dengan jumlah angka, hitungan, yang memiliki interaksi dengan titik-titik gravitasi ruhani dan pusat-pusat gravitasi alam semesta, dunia maupun akhirat.
Lalu disinilah pentingnya Tarbiyah Ruhiyah (pendidikan ruhani) dalam ritual dzikir dari seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, dimana dalam dimensi Dzikrullah seorang Mursyid telah diberi anugerah “wilayah” (kewalian) dalam Dzikrullah dalam keparipurnaan kehambaannya, hingga diberi Wewenang oleh Allah untuk membimbing agar ummat mencapai apa yang telah diraihnya. Karena itu Ibnu Athaillah menegaskan dalam al-Hikam, bahwa ibadah-ibadah yang berhubvungan dengan hak waktu pada hamba, seperti sholat, puasa (dengan batasan waktu) bisa diqodlo bila kita ada halangan, tetapi hak kita terhadap waktu, jika berhalangan tidak bisa diqodlo, yaitu Dzikrullah. Ibadah yang mestinya lazim, universal dan terus menerus (da’iman abadan) sepanjang hidup kita.
Hari-hari indah bersama Allah, adalah hari-hari full Dzikrullah yang secara filosufis menyatu pada AsmaNya Yang Agung, Allah. “Waladzikrullahi Akbar” (Niscaya sesungguhnya dzikir Allah itulah yang lebih besar (dibanding yang lainnya). Karenanya waktu yang terbatas ditempuh oleh para hambaNya di dunia, haruslah menjadi waktu sepesial, waktu istemewa, waktu dahsyat, seluruh waktu hidupnya adalah keistemewan dan kedahsyatan bersama Allah. Semesta ruang dan waktu ini haruslah semesta bercahaya. Cahayanya adalah kesaksian jiwa para hambaNya dalam melihat Asma’, Sifat dan Dzat dengan matahatinya dibalik semesta, lalu pancaran cahaya itu memantul dalam pandangannya ke alam semesta ini. Disinilah kita mengerti betapa kehadiran ummat ini adalah kehadiran membawa missi Risalah, yakni Risalah Rahmat Lil’alamin. Manusia Dzikrullah dan Ahlullah.
Apakah ada alas an lain lagi, bahkan satu saja alas an dari tumpukan alasan anda untuk tidak bersyukur kepada Allah? Apakah layak alasan-alasan hina yang berbau duniawi anda jadikan alas an untuk tidak mengingat Allah? Alasan-alasan problema dan himpitan masalah untuk dijadikan alibi menjauh dari Allah? Alasan-alasan ketololan dan pengingkaran, hanya karena kebodohan, lalu anda membiarkan diri anda terseret ke jurang dzulumat kegelapan yang berlapis? Teruskan anda mengeluh, teruskan anda berputus asa, teruskan anda merasa tak punya arti dan masa depan, teruskan anda mengarungi lembah busuk kealpaan, kemaksiatan, pengingkaran, dan kemunafikan. Jika anda memang memilih wilayah gelap Iblisian dan Syaithoniyah demi memanjakan hawa nafsu dan ego anda. Toh semua itu adalah lapisan mega yang semakin temaram, semakin gelap gulita, menghalangi cahaya matahari ma’rifatullah.
Selamat beraktifitas berselimut dzikrullah...
---(ooo)---
Dzikrullah, Itulah satelit menuju Allah di abad millennium ini. Allah menyebut kata Dzikr dalam Al-Qur’an 288 kali lebih, dengan tekanan pada makna Mengingat Allah hamper 90%, selebihnya bermakna sebagai peringatan, mengingatkan peristiwa, atau untuk menyebut gender laki-laki (dzakara).
Bahkan seluruh ubudiyah seorang hamba baik syari’at maupun hakikat, berujung pada puncak Dzikrullah, dalam kefanaan hamba, lalu kembali ke alam nyata lagi dengan syariat Dzikir berupa ibadah sehari-hari kita, mulai dari ritual wirid, sholat, puasa, zakat, haji dan ibadah social lainnya. Dan Dzikrullah menjadi ruh seluruh proses ibadah hamba. “Tegakkanlah sholat untuk berdzikir kedaKu,” firman Allah Ta’ala. Atau hadits Nabi saw. “Amal paling mulia adalah Dzikrullah.”
Begitu besar dan dahsyatnya urgensi Dzikrullah, sampai-sampai para hamba Allah tidak diberi dimensi ruang waktu dalam ubudiyah Dzikrullah ini. Satu-satunya ibadah tanpa batas ruang waktu dan hitungan. Sedangkan ritual wirid (wiridan) dengan jumlah tertentu, waktu tertentu, apakah sehabis sholat dan waktu khusus, adalah dalam rangka memasuki Wilayah Tembus Batas Dzikrullah itu sendiri. Karena itu dilatih dengan jumlah angka, hitungan, yang memiliki interaksi dengan titik-titik gravitasi ruhani dan pusat-pusat gravitasi alam semesta, dunia maupun akhirat.
Lalu disinilah pentingnya Tarbiyah Ruhiyah (pendidikan ruhani) dalam ritual dzikir dari seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, dimana dalam dimensi Dzikrullah seorang Mursyid telah diberi anugerah “wilayah” (kewalian) dalam Dzikrullah dalam keparipurnaan kehambaannya, hingga diberi Wewenang oleh Allah untuk membimbing agar ummat mencapai apa yang telah diraihnya. Karena itu Ibnu Athaillah menegaskan dalam al-Hikam, bahwa ibadah-ibadah yang berhubvungan dengan hak waktu pada hamba, seperti sholat, puasa (dengan batasan waktu) bisa diqodlo bila kita ada halangan, tetapi hak kita terhadap waktu, jika berhalangan tidak bisa diqodlo, yaitu Dzikrullah. Ibadah yang mestinya lazim, universal dan terus menerus (da’iman abadan) sepanjang hidup kita.
Hari-hari indah bersama Allah, adalah hari-hari full Dzikrullah yang secara filosufis menyatu pada AsmaNya Yang Agung, Allah. “Waladzikrullahi Akbar” (Niscaya sesungguhnya dzikir Allah itulah yang lebih besar (dibanding yang lainnya). Karenanya waktu yang terbatas ditempuh oleh para hambaNya di dunia, haruslah menjadi waktu sepesial, waktu istemewa, waktu dahsyat, seluruh waktu hidupnya adalah keistemewan dan kedahsyatan bersama Allah. Semesta ruang dan waktu ini haruslah semesta bercahaya. Cahayanya adalah kesaksian jiwa para hambaNya dalam melihat Asma’, Sifat dan Dzat dengan matahatinya dibalik semesta, lalu pancaran cahaya itu memantul dalam pandangannya ke alam semesta ini. Disinilah kita mengerti betapa kehadiran ummat ini adalah kehadiran membawa missi Risalah, yakni Risalah Rahmat Lil’alamin. Manusia Dzikrullah dan Ahlullah.
Apakah ada alas an lain lagi, bahkan satu saja alas an dari tumpukan alasan anda untuk tidak bersyukur kepada Allah? Apakah layak alasan-alasan hina yang berbau duniawi anda jadikan alas an untuk tidak mengingat Allah? Alasan-alasan problema dan himpitan masalah untuk dijadikan alibi menjauh dari Allah? Alasan-alasan ketololan dan pengingkaran, hanya karena kebodohan, lalu anda membiarkan diri anda terseret ke jurang dzulumat kegelapan yang berlapis? Teruskan anda mengeluh, teruskan anda berputus asa, teruskan anda merasa tak punya arti dan masa depan, teruskan anda mengarungi lembah busuk kealpaan, kemaksiatan, pengingkaran, dan kemunafikan. Jika anda memang memilih wilayah gelap Iblisian dan Syaithoniyah demi memanjakan hawa nafsu dan ego anda. Toh semua itu adalah lapisan mega yang semakin temaram, semakin gelap gulita, menghalangi cahaya matahari ma’rifatullah.
Selamat beraktifitas berselimut dzikrullah...
---(ooo)---
Labels:
DZIKRULLAH
Thanks for reading RADAR DZIKRULLAH. Please share...!
0 Comment for "RADAR DZIKRULLAH"