"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut [162] dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."( QS. Al Baqarah 2:256 )
[162] Thaghut, ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni'mat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk."
( QS. Ali Imran 3:103 )
Dari Abu 'Abdillah An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma berkata, "Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang syubhat (samar-samar), kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka siapa yang menjaga dirinya dari yang syubhat itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya. Ingatlah setiap raja memiliki larangan dan ingatlah bahwa larangan Allah apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad ada segumpal daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”. [HR. Bukhari dan Muslim]
Mutiara Hadits:
“Ketika aku bersama Ayahku, aku mengambil secuil pecahan bata dari tembok.
Ayahku menegurku: “Kenapa kamu ambil?”
Aku menjawab, “Ini hanya secuil tembok”
Ayahku berkata:
“Jika setiap orang mengambil secuil demi secuil, apakah akan tersisa tembok pada dinding ini..”
Ini hanya satu kisah sikap wara’ (kehati-hatian) seorang Salafus Soleh (orang-orang soleh terdahulu, yang hidup di zaman Rasulullah Shalallah ‘Alaihi Wasalam dan beberapa generasi sesudah wafatnya beliau). Perjalanan hidup mereka dipenuhi semerbak tetesan wewangian dalam gambaran menarik pada kewara’an dan jauhnya mereka dari perkara samar.
Wara’ bermakna juga menjaga diri yaitu menahan diri dari hal-hal yang tidak selayaknya (Ibnu Faris)
Wara’ artinya merasa risih (jawa=pekewuh), orang yang khawatir lagi melindungi diri serta merasa risih, menahan diri dari yang diharamkan dan merasa risih dengannya. Menahan diri walaupun mubah (yang dibolehkan) dan halal (Ibu Manzhur)
Wara’ adalah meninggalkan setiap perkara samar (yang kurang jelas). Dan meninggalkan apa yang bukan urusanmu adalah meninggalkan hal yang berlebihan. Wara berarti keluar dari syahwat (hawa nafsu) dan meninggalkan kejelekan-kejelekan. (Ibrohim bin Adham)
Jika kita perhatikan banyak orang yang banyak berbicara sedikit yang berguna. Banyak yang beraktivitas, tetapi tidak berpahala. Banyak orang yang memeras otak, tetapi sedikit manfaatnya. Banyak orang yang makan hingga kenyang, tapi sedikit makanan yang menjadi tenaga untuk beribadah. Banyak kesempatan dan waktu luang, tetapi sedikit waktu yang terisi dengan perkara yang berfaedah. Banyak karunia Allah yang telah diberikan, tetapi sedikit sekali yang disyukuri. Banyak peluang emas untuk meraih rahmat Allah, tetapi banyak peluang itu terbuang percuma. Ternyata tak terasa begitu banyak modal kita yang tidak membawa hasil, bahkan terbuang begitu saja. Sebabnya adalah kita kurang perhatian dan hati-hati mempergunakannya. Pada hal, semua waktu, kesempatan, harta, hidup, dan semua potensi itu akan di hitung oleh Allah. Nanti kita menjadi orang yang untung atau menjadi orang rugi. Kebahagiaan milik orang yang hati-hati (wara’) mempergunakan fasilitas itu. Kerugian besar bagi orang yang sembrono terhadap karunia Allah itu.
Orang yang hatinya wara’ akan menjaga semua jiwa dan raganya dari perkara yang mengundang murka Allah. Menjaga dan membersihkan hati dari semua penyakit hati terus dilakukan. Sebab, kebaikan dan keburukan muncul dari hati. Demikian juga hati yang wara’ akan terealisasi pada perbuatan, ucapan, pikiran yang penuh kehati-hatian. Jangan sampai pembicaraannya banyak kata yang keluar tapi sedikit manfaatnya. Ia lebih memilih sedikit berbicara dan berguna dari pada banyak bicara tetapi kosong maknanya. Tak ingin butiran kata dan susunan kalimat yang keluar dari lisannya banyak yang mubadzir. Karena, banyak bicaranya pasti banyak kesalahannya, banyak dustanya, dan banyak pamrihnya. Orang yang banyak berbicara sedikit malunya kepada Allah. Ia tidak berkata, kecuali yang benar, atau berdiam diri. Karena, tidak ada satu kata yang keluar dari lisan manusia kecuali akan dihisab oleh Allah. Tiap kali mau berkata ia mohon pertolongan kepada Allah agar tidak tergelincir saat berbicara. Ia mohon ijin dahulu kepada Allah sebelum berbicara. Karena ia sadar betul bahwa lisan dan ucapannya adalah milik-Nya. Doa dan isti’adzah (mohon perlindungan) selalu mengawali setiap pembicaraannya. Hati-hati memilih kosa kata dalam berbicara merupakan salah satu tanda orang yang beriman dan ciri orang yang wara’. Sabda Rasulullah saw.:
Dalam beramal pun, orang yang hati-hati (wara’) akan memperhatikan kualitas amalnya. Jangan sampai amalnya tidak membawa hasil. Jangan sampai keringat sudah terperas, tenaga terkuras, dan otak berpikir keras, namun amalnya ditolak oleh Allah. Amalnya menjadi sia-sia dan tidak berpahala. Sungguh rugi pengorbanan seseorang yang tidak dapat memetik buahnya. Ia jauhi perbuatan yang tidak bernilai dan berharga di sisi Allah. Ia berusaha meninggalkan perbuatan yang dapat melupakan dirinya kepada Allah; apalagi perbuatan haram yang nyata-nyata dilarang Allah. Karena itu, ia selalu memilih perbuatan atau amal yang lebih utama dari pada yang utama. Ia pilih amal yang berpahala ganda bagi banyak orang dari pada amal yang berpahala hanya untuknya sendiri. Ia jauhi orang-orang yang memiliki kebiasaan banyak membuang waktu dan tenaga untuk perbuatan yang tidak bernilai di sisi Allah. Ia dekati orang-orang yang memperhitungkan betul akan kualitas amalnya di hadapan Allah. Ia awali amalnya dengan niat karena Allah. Ia beramal mengikuti ketentuan Allah dan mengiringi amalnya dengan tulus ikhlas selama beramal hingga penghujung amal. Ia serahkan hasil akhir kepada keputusan Allah. Hati berharap apa yang telah ia lakukan berbuah keridhaan-Nya, hingga dengan amalnya tadi, Allah berkenan menghapus dosa-dosa yang telah tercatat dan memaafkan kekhilafan yang belum dicatat, dan Allah berkenan memberikan petunjuk dan rahmat-Nya kepada dirinya. Sebab, hakekat kebahagiaan seseorang di dunia akhirat adalah kebahagiaan orang yang mempergunakan semua amal dan tenaganya untuk mencari ridha Allah. Ia abaikan amal yang hanya memperoleh sanjungan dan penghargaan manusia belaka. Apa artinya sanjungan dan penghargaan manusia, jika di sisi Allah itu merupakan amal yang tercela. Hati yang wara’ akan mengajak tubuhnya untuk cekatan dan terampil melakukan amal yang berguna, bernilai, bermakna, dan berpahala di sisi Allah.
Soal makan, minum, dan apa saja yang ia pergunakan selalu di sandarkan pada keridhaan Allah. Ia tak mau makan jika di hadapannya terhidang makanan dan minuman yang haram. Lebih baik lapar, tapi Allah tersenyum dari pada perut kenyang, tenggoronkan puas, tetapi Allah geram terhadapnya. Ia tidak akan mempergunakan sesuatu, jika sesuatu itu bukan miliknya. Ia yakin bahwa Allah akan mengganti yang lebih baik dari itu, jika ia dapat mengendalikan dirinya dari sesuatu yang haram. Sabda Rasulullah saw.
Dalam beribadah kepada Allah, ia tidak serampangan. Ia perhatikan kesucian baju, tempat, dan anggota tubuh. Ia pilih baju yang paling bagus. Ia tata hatinya terlebih dahulu. Kemudian ia tanggalkan semua perkara dunia. Hatinya khusyu’ dan tawadhu’ serta jiwa tunduk penuh penghambaan. Setiap lantunan bacaan yang bermakna meresap dalam lubuk hati yang terdalam. Rasa harap, malu, takut, dan rindu mengiringi tiap gerakan dalam beribadah. Kini ia berhadapan dan berdialog dengan penguasa alam dan penggenggam kehidupan. Betapa kecil dan lemahnya dirinya di hadapan-Nya, hingga tak terasa derai air mata membasahi pipi, lidah tak kuasa melantunkan asma Allah yang agung dan mengucapkan permohonan kepada-Nya. Ia akui diri penuh dosa dan kesalahan. Tidak ada yang mengampuni dirinya kecuali hanya Dia. Saat berdiri akan shalat, terasa saat itu ia telah berada di atas titian (sirathal mustaqiim), di bawahnya terasa hawa panas neraka yang membara, di samping kanannya terlihat surga, di samping kirinya terlihat kuburannya, di belakangnya ada malaikat maut siap mencabut nyawanya, di hadapannya adalah Allah Zat Yang Maha Agung, dan saat itu adalah shalat yang terahkir baginya. Setelah itu ia akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan dirinya selama hidup di dunia. Terlihat baginya, betapa sedikit amal shalehnya dan betapa banyaknya kejelekan yang sudah diperbuatnya. Sepertinya setelah shalat ia akan terjebur ke da lam neraka. Maka ia tenggelam dalam kekhusyu’an beribadah kepada Allah. Begitu hati-hati (wara’) ia membaca dan melakukan gerakan dalam beribadah. Ia hiasi diri dengan akhlak yang sebaik mungkin di hadapan Allah SWT. Sungguh beruntung orang yang beriman dan khusyu’ dalam shalatnya. Firman Allah SWT dalam surat al-Mu’min ayat 1-2.
Tetapi walau merasa dirinya banyak dosa, ia yakin bahwa rahmat Allah lebih luas dari murka-Nya, sehingga ia tegarkan diri saat berdialog dengan Allah. Ia hentikan melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Ia hentikan melakukan sesuatu yang meragukan. Ia hentikan menuruti keinginan hawa nafsunya. Ia hentikan diri dari perkataan dan perbuatan yang tidak berguna. Ia hentikan pandangannya dari sesuatu yang tidak layak untuk di lihat malu kepada-Nya. Ia jauhi pelaku maksiat, pemilik hati yang munafik, orang-orang yang angkuh dan cinta dunia. Semua disandarkan pada kebesaran dan ridha Allah. Ia gantungkan jiwa raganya kepada qadha dan taqdir Allah dengan terus berupaya menjalankan dua tugas mulianya, yaitu tugas sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah Allah di muka bumi ini.
Dengan hati yang wara’, maka akal, tangan, mata, mulut, kedua kaki, kedua tangan, telinga, perut, dan semua anggota tubuhnya ikut wara’. Wara’ atau kehati-hatian itu lahir dari perasaan takut kepada Allah SWT. Ia takut, ketika masuk liang lahat di siksa Allah, hari kebangkitan di siksa, di padang maghsyar di siksa, perhitungan amal, timbangan amal, melalui shirat dan takut di siksa di neraka Allah SWT.
Ketahuilah! Bahwa semua ini adalah benar adanya. Perasaan takut ini membuahkan sikap wara’ (kehati-hatian). Sikap wara’ dapat meninggalkan perkataan dan perbuatan yang sia-sia. Wara’ melahirkan sifat zuhud (tidak bergantung kepada selain Allah) dan istiqomah. Wara’ dapat mendorong seseorang untuk menjemput bola dalam kebaikan. Wara’ ciri orang yang bertaqwa. Ia adalah ibadah yang agung dan sebagai mahkota agama. Orang yang wara’ , ikhlas, zuhud, istiqomah mengikuti sunnah Nabi SAW akan memperoleh pahala yang besar pada hari kemudian. Allah akan selalu bersama orang yang selalu berhati wara’ (hati-hati).
Mari Kita senantiaa memohon perlindungan kepada-Nya dari godaan setan dan sahwat, tanpa pertolongan dan inayah-Nya kita tidak mungkin dapat menghiasi diri dengan sifat wara’ ini. Semoga Allah berkenan memilih kita menjadi orang-orang yang mendapat petunjuk, ma’uunah, dan sifat wara’. Amin. Wallahu a’lam.
Pustaka :
Blog Kang Najib
Al-Quran Online
Panduan Islam
[162] Thaghut, ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni'mat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk."
( QS. Ali Imran 3:103 )
Dari Abu 'Abdillah An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma berkata, "Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang syubhat (samar-samar), kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka siapa yang menjaga dirinya dari yang syubhat itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya. Ingatlah setiap raja memiliki larangan dan ingatlah bahwa larangan Allah apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad ada segumpal daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”. [HR. Bukhari dan Muslim]
Mutiara Hadits:
- Termasuk sikap wara (Wara’ adalah sikap yang timbul dari rasa takutnya seseorang terhadap perbuatan haram) adalah meninggalkan syubhat.
- Banyak melakukan syubhat akan mengantarkan seseorang kepada perbuatan haram.
- Menjauhkan perbuatan dosa kecil karena hal tersebut dapat menyeret seseorang kepada perbuatan dosa besar.
- Memberikan perhatian terhadap masalah hati, karena padanya terdapat kebaikan fisik.
- Baiknya amal perbuatan anggota badan merupakan pertanda baiknya hati.
- Pertanda ketakwaan seseorang jika dia meninggalkan perkara-perkara yang diperbolehkan karena khawatir akan terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan.
- Menutup pintu terhadap peluang-peluang perbuatan haram serta haramnya sarana dan cara kearah sana.
- Hati-hati dalam masalah agama dan kehormatan serta tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mendatangkan persangkaan buruk.
“Ketika aku bersama Ayahku, aku mengambil secuil pecahan bata dari tembok.
Ayahku menegurku: “Kenapa kamu ambil?”
Aku menjawab, “Ini hanya secuil tembok”
Ayahku berkata:
“Jika setiap orang mengambil secuil demi secuil, apakah akan tersisa tembok pada dinding ini..”
Ini hanya satu kisah sikap wara’ (kehati-hatian) seorang Salafus Soleh (orang-orang soleh terdahulu, yang hidup di zaman Rasulullah Shalallah ‘Alaihi Wasalam dan beberapa generasi sesudah wafatnya beliau). Perjalanan hidup mereka dipenuhi semerbak tetesan wewangian dalam gambaran menarik pada kewara’an dan jauhnya mereka dari perkara samar.
Wara’ bermakna juga menjaga diri yaitu menahan diri dari hal-hal yang tidak selayaknya (Ibnu Faris)
Wara’ artinya merasa risih (jawa=pekewuh), orang yang khawatir lagi melindungi diri serta merasa risih, menahan diri dari yang diharamkan dan merasa risih dengannya. Menahan diri walaupun mubah (yang dibolehkan) dan halal (Ibu Manzhur)
Wara’ adalah meninggalkan setiap perkara samar (yang kurang jelas). Dan meninggalkan apa yang bukan urusanmu adalah meninggalkan hal yang berlebihan. Wara berarti keluar dari syahwat (hawa nafsu) dan meninggalkan kejelekan-kejelekan. (Ibrohim bin Adham)
مِنْ حسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُ مَا لاَ يَعْنِـيْـهِ. رواه الترمذي
” Dari sebaik-baik keislaman seseorang adalah ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat.” (HR. At-Tirmidzi)Jika kita perhatikan banyak orang yang banyak berbicara sedikit yang berguna. Banyak yang beraktivitas, tetapi tidak berpahala. Banyak orang yang memeras otak, tetapi sedikit manfaatnya. Banyak orang yang makan hingga kenyang, tapi sedikit makanan yang menjadi tenaga untuk beribadah. Banyak kesempatan dan waktu luang, tetapi sedikit waktu yang terisi dengan perkara yang berfaedah. Banyak karunia Allah yang telah diberikan, tetapi sedikit sekali yang disyukuri. Banyak peluang emas untuk meraih rahmat Allah, tetapi banyak peluang itu terbuang percuma. Ternyata tak terasa begitu banyak modal kita yang tidak membawa hasil, bahkan terbuang begitu saja. Sebabnya adalah kita kurang perhatian dan hati-hati mempergunakannya. Pada hal, semua waktu, kesempatan, harta, hidup, dan semua potensi itu akan di hitung oleh Allah. Nanti kita menjadi orang yang untung atau menjadi orang rugi. Kebahagiaan milik orang yang hati-hati (wara’) mempergunakan fasilitas itu. Kerugian besar bagi orang yang sembrono terhadap karunia Allah itu.
Secara bahasa wara’ berarti menahan dan mencegah. Secara istilah syar’i wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang diragukan, meniadakan sesuatu yang mengotori jiwa, dan mengambil yang diperkenankan Allah serta membawa diri pada kehati-hatian.Nah, sebagai praktisi spiritual dan praktisi energi. Yang berbasiskan kekuatan Hati Nurani dan Fikiran. Maka kita harus betul-betul ekstra ketat dalam menerap prinsip WARA' ini dalam diri kita. Karena perbuatan yang muncul dari hati adalah sangat samar, tidak mudah membedakan bisikan nafsu atau bisikan hati nurani. Sehingga bila kita tidak bersikap Wara' atau berhati-hati. Maka kita dengan sangat mudahnya akan tergelincir pada jebakan syetan. Jatuh pada perbuatan syirik, atau memperturutkan hawa nafsu, menjadi ujub, sombong, takabur, dll.
Orang yang hatinya wara’ akan menjaga semua jiwa dan raganya dari perkara yang mengundang murka Allah. Menjaga dan membersihkan hati dari semua penyakit hati terus dilakukan. Sebab, kebaikan dan keburukan muncul dari hati. Demikian juga hati yang wara’ akan terealisasi pada perbuatan, ucapan, pikiran yang penuh kehati-hatian. Jangan sampai pembicaraannya banyak kata yang keluar tapi sedikit manfaatnya. Ia lebih memilih sedikit berbicara dan berguna dari pada banyak bicara tetapi kosong maknanya. Tak ingin butiran kata dan susunan kalimat yang keluar dari lisannya banyak yang mubadzir. Karena, banyak bicaranya pasti banyak kesalahannya, banyak dustanya, dan banyak pamrihnya. Orang yang banyak berbicara sedikit malunya kepada Allah. Ia tidak berkata, kecuali yang benar, atau berdiam diri. Karena, tidak ada satu kata yang keluar dari lisan manusia kecuali akan dihisab oleh Allah. Tiap kali mau berkata ia mohon pertolongan kepada Allah agar tidak tergelincir saat berbicara. Ia mohon ijin dahulu kepada Allah sebelum berbicara. Karena ia sadar betul bahwa lisan dan ucapannya adalah milik-Nya. Doa dan isti’adzah (mohon perlindungan) selalu mengawali setiap pembicaraannya. Hati-hati memilih kosa kata dalam berbicara merupakan salah satu tanda orang yang beriman dan ciri orang yang wara’. Sabda Rasulullah saw.:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.. رواه البخاري و مسلم.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam,!” ( HR. Bukhori Muslim)Dalam beramal pun, orang yang hati-hati (wara’) akan memperhatikan kualitas amalnya. Jangan sampai amalnya tidak membawa hasil. Jangan sampai keringat sudah terperas, tenaga terkuras, dan otak berpikir keras, namun amalnya ditolak oleh Allah. Amalnya menjadi sia-sia dan tidak berpahala. Sungguh rugi pengorbanan seseorang yang tidak dapat memetik buahnya. Ia jauhi perbuatan yang tidak bernilai dan berharga di sisi Allah. Ia berusaha meninggalkan perbuatan yang dapat melupakan dirinya kepada Allah; apalagi perbuatan haram yang nyata-nyata dilarang Allah. Karena itu, ia selalu memilih perbuatan atau amal yang lebih utama dari pada yang utama. Ia pilih amal yang berpahala ganda bagi banyak orang dari pada amal yang berpahala hanya untuknya sendiri. Ia jauhi orang-orang yang memiliki kebiasaan banyak membuang waktu dan tenaga untuk perbuatan yang tidak bernilai di sisi Allah. Ia dekati orang-orang yang memperhitungkan betul akan kualitas amalnya di hadapan Allah. Ia awali amalnya dengan niat karena Allah. Ia beramal mengikuti ketentuan Allah dan mengiringi amalnya dengan tulus ikhlas selama beramal hingga penghujung amal. Ia serahkan hasil akhir kepada keputusan Allah. Hati berharap apa yang telah ia lakukan berbuah keridhaan-Nya, hingga dengan amalnya tadi, Allah berkenan menghapus dosa-dosa yang telah tercatat dan memaafkan kekhilafan yang belum dicatat, dan Allah berkenan memberikan petunjuk dan rahmat-Nya kepada dirinya. Sebab, hakekat kebahagiaan seseorang di dunia akhirat adalah kebahagiaan orang yang mempergunakan semua amal dan tenaganya untuk mencari ridha Allah. Ia abaikan amal yang hanya memperoleh sanjungan dan penghargaan manusia belaka. Apa artinya sanjungan dan penghargaan manusia, jika di sisi Allah itu merupakan amal yang tercela. Hati yang wara’ akan mengajak tubuhnya untuk cekatan dan terampil melakukan amal yang berguna, bernilai, bermakna, dan berpahala di sisi Allah.
Soal makan, minum, dan apa saja yang ia pergunakan selalu di sandarkan pada keridhaan Allah. Ia tak mau makan jika di hadapannya terhidang makanan dan minuman yang haram. Lebih baik lapar, tapi Allah tersenyum dari pada perut kenyang, tenggoronkan puas, tetapi Allah geram terhadapnya. Ia tidak akan mempergunakan sesuatu, jika sesuatu itu bukan miliknya. Ia yakin bahwa Allah akan mengganti yang lebih baik dari itu, jika ia dapat mengendalikan dirinya dari sesuatu yang haram. Sabda Rasulullah saw.
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا إِلاَّ بَدَّ لَكَ الله ُ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْـهُ.
“Sesungguhnya kamu tidak akan meninggalkan sesuatu karena Allah SWT, melainkan Allah akan mengganti dengan yang lebih baik darinya untukmu.” (HR. Imam Ahmad)Dalam beribadah kepada Allah, ia tidak serampangan. Ia perhatikan kesucian baju, tempat, dan anggota tubuh. Ia pilih baju yang paling bagus. Ia tata hatinya terlebih dahulu. Kemudian ia tanggalkan semua perkara dunia. Hatinya khusyu’ dan tawadhu’ serta jiwa tunduk penuh penghambaan. Setiap lantunan bacaan yang bermakna meresap dalam lubuk hati yang terdalam. Rasa harap, malu, takut, dan rindu mengiringi tiap gerakan dalam beribadah. Kini ia berhadapan dan berdialog dengan penguasa alam dan penggenggam kehidupan. Betapa kecil dan lemahnya dirinya di hadapan-Nya, hingga tak terasa derai air mata membasahi pipi, lidah tak kuasa melantunkan asma Allah yang agung dan mengucapkan permohonan kepada-Nya. Ia akui diri penuh dosa dan kesalahan. Tidak ada yang mengampuni dirinya kecuali hanya Dia. Saat berdiri akan shalat, terasa saat itu ia telah berada di atas titian (sirathal mustaqiim), di bawahnya terasa hawa panas neraka yang membara, di samping kanannya terlihat surga, di samping kirinya terlihat kuburannya, di belakangnya ada malaikat maut siap mencabut nyawanya, di hadapannya adalah Allah Zat Yang Maha Agung, dan saat itu adalah shalat yang terahkir baginya. Setelah itu ia akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan dirinya selama hidup di dunia. Terlihat baginya, betapa sedikit amal shalehnya dan betapa banyaknya kejelekan yang sudah diperbuatnya. Sepertinya setelah shalat ia akan terjebur ke da lam neraka. Maka ia tenggelam dalam kekhusyu’an beribadah kepada Allah. Begitu hati-hati (wara’) ia membaca dan melakukan gerakan dalam beribadah. Ia hiasi diri dengan akhlak yang sebaik mungkin di hadapan Allah SWT. Sungguh beruntung orang yang beriman dan khusyu’ dalam shalatnya. Firman Allah SWT dalam surat al-Mu’min ayat 1-2.
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلاَتِهِمْ خَاشِعُوْنَ.
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, mereka yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’min: 1-2)Tetapi walau merasa dirinya banyak dosa, ia yakin bahwa rahmat Allah lebih luas dari murka-Nya, sehingga ia tegarkan diri saat berdialog dengan Allah. Ia hentikan melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Ia hentikan melakukan sesuatu yang meragukan. Ia hentikan menuruti keinginan hawa nafsunya. Ia hentikan diri dari perkataan dan perbuatan yang tidak berguna. Ia hentikan pandangannya dari sesuatu yang tidak layak untuk di lihat malu kepada-Nya. Ia jauhi pelaku maksiat, pemilik hati yang munafik, orang-orang yang angkuh dan cinta dunia. Semua disandarkan pada kebesaran dan ridha Allah. Ia gantungkan jiwa raganya kepada qadha dan taqdir Allah dengan terus berupaya menjalankan dua tugas mulianya, yaitu tugas sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah Allah di muka bumi ini.
Dengan hati yang wara’, maka akal, tangan, mata, mulut, kedua kaki, kedua tangan, telinga, perut, dan semua anggota tubuhnya ikut wara’. Wara’ atau kehati-hatian itu lahir dari perasaan takut kepada Allah SWT. Ia takut, ketika masuk liang lahat di siksa Allah, hari kebangkitan di siksa, di padang maghsyar di siksa, perhitungan amal, timbangan amal, melalui shirat dan takut di siksa di neraka Allah SWT.
Ketahuilah! Bahwa semua ini adalah benar adanya. Perasaan takut ini membuahkan sikap wara’ (kehati-hatian). Sikap wara’ dapat meninggalkan perkataan dan perbuatan yang sia-sia. Wara’ melahirkan sifat zuhud (tidak bergantung kepada selain Allah) dan istiqomah. Wara’ dapat mendorong seseorang untuk menjemput bola dalam kebaikan. Wara’ ciri orang yang bertaqwa. Ia adalah ibadah yang agung dan sebagai mahkota agama. Orang yang wara’ , ikhlas, zuhud, istiqomah mengikuti sunnah Nabi SAW akan memperoleh pahala yang besar pada hari kemudian. Allah akan selalu bersama orang yang selalu berhati wara’ (hati-hati).
Mari Kita senantiaa memohon perlindungan kepada-Nya dari godaan setan dan sahwat, tanpa pertolongan dan inayah-Nya kita tidak mungkin dapat menghiasi diri dengan sifat wara’ ini. Semoga Allah berkenan memilih kita menjadi orang-orang yang mendapat petunjuk, ma’uunah, dan sifat wara’. Amin. Wallahu a’lam.
Pustaka :
Blog Kang Najib
Al-Quran Online
Panduan Islam
Labels:
Tasawuf
Thanks for reading Prinsip Wara'. Please share...!
0 Comment for "Prinsip Wara'"