Maulana S.S. Kadirun Yahya MA. M.Sc |
«مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي اْلأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ»
"Siapa saja yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, Allah memperjalankannya di atas salah satu jalan surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap mereka karena ridha kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya seorang alim itu dimintakan ampunan oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi hingga ikan yang ada di dasar lautan. Sesungguhnya keutamaan seorang alim atas seorang abid (ahli ibadah) seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu. Karena itu, siapa saja yang mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang besar." (HR Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi, al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibn Hibban).
Sanad Hadis
Abu Dawud meriwayatkan hadis ini dari Musaddad bin Musarhad. Ibn Majah dan ad-Darimi meriwayatkannya dari Nashr bin Ali al-Jahdhami. Ibn Hibban meriwayatkannya dari Muhammad bin Ishhaq ats-Tsaqafi, dari Abdul A‘la bin Hamad. Al-Baihaqi meriwayatkannya dari Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf al-Ashbahani, dari Abu Said Ahmad bin Muhammad bin Ziyad al-Bashri, dari Abu Ya‘la as-Siyaji. Imam Ahmad meriwayatkannya dari Muhammad bin Yazid, dari Ashim bin Raja’ bin Haywah. At-Tirmidzi meriwayatkannya dari Mahmud bin Khidasy al-Baghdadi, dari Muhammad bin Yazid al-Wasithi. Semuanya berasal dari penuturan Abdullah bin Dawud, dari Ashim bin Raja’ bin Haywah, dari Dawud bin Jamil, dari Katsir bin Qais, yang bersumber dari Abu Darda’.
Makna Hadis
Man salaka tharîqan yathlubu fîhi ’ilm[an] salakallâh bihi tharîq[an] min thuruq al-Jannah. Kata tharîq[an] dan ‘ilm[an] dinyatakan dalam bentuk nakîrah (indefinitif). Hal itu untuk mencakup semua jenis jalan yang bisa mengantarkan pada diraihnya ilmu-ilmu agama, juga untuk mencakup gradualisasi dalam hal itu, baik sedikit maupun banyak. Frasa salakallâh bihi maksudnya adalah sahhalallâh lahu (Allah memudahkan untuknya). Artinya, Allah akan memudahkan untuknya jalan ke surga. Hal itu bisa terjadi di akhirat atau di dunia saat Allah memberinya taufik untuk melakukan amal-amal salih yang nantinya bisa mengantarkannya ke surga. Ini merupakan basyarah, bahwa orang yang menuntut ilmu agama akan dimudahkan untuk menguasainya. Frasa ini merupakan dorongan untuk menuntut ilmu-ilmu agama.
Inna al-Malâikah…li thâlib al-‘ilm, artinya para malaikat menaungi penuntut ilmu dengan sayapnya. Hal itu karena para malaikat ridha dan menyukai apa yang diperbuat penuntut ilmu itu.
Wa inna al-‘âlim layastaghfiru lahu … fî al-mâ’. Al-Khathabi menjelaskan, bahwa Allah mengilhamkan kepada ikan dan hewan-hewan agar memohonkan ampunan untuk ulama. Ini merupakan majaz untuk memuji baiknya aktivitas ulama dan kelemahlembutan mereka.
Inna fadhla al-‘âlim (keutamaan seorang alim), yaitu orang yang sibuk menyebarkan ilmu serta melaksanakan amal ibadah yang dharûrî saja, yakni yang wajib dan sunnah muakad. ‘Alâ al-‘âbid (atas seorang ahli ibadah), yaitu orang yang menghabiskan lebih banyak waktunya untuk menunaikan amalan sunnah, dan ia hanya menuntut ilmu yang dharûrî atau pokok saja.
Kafadhli al-qamar laylah al-badri ‘alâ sâ’ir al-kawâkib (seperti kelebihan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang). Diumpamakan demikian karena kesempurnaan, cahaya dan manfaat ibadah seorang ahli ibadah hanya terbatas untuk dirinya sendiri. Hal itu seperti bintang-bintang yang bersinar tetapi sinarnya tidak menerangi bumi. Sebaliknya, kesempurnaan, cahaya dan manfaat ilmu ilmu seorang alim, selain untuk dirinya sendiri, juga sampai kepada orang lain yang ada di sekitarnya bahkan yang sangat jauh darinya. Hal itu seperti bulan yang bersinar dan sinarnya menerangi seantero bumi. Ini juga mengisyaratkan, bahwa kesempurnaan, cahaya dan manfaat ilmu itu bukan ilmu yang datang dari diri ulama itu sendiri, melainkan ilmu yang ia ambil dari ilmu yang diwariskan Nabi saw.; ibarat bulan yang mendapatkan sinar untuk menerangi bumi itu dari matahari.
Wa inna al-ulamâ’ waratsah al-anbiyâ’. Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, bahwa orang yang mewarisi menempati kedudukan yang diwarisi berserta hukum pada posisi yang ia gantikan. Artinya, ulama menggantikan peran dan tugas para nabi, yakni mengemban misi penyampaian dan penyebaran risalah Islam.
Wa inna al-anbiyâ’ lam yuwarritsû dînâr[an] wa la dirhâm[an]. Dinar dan dirham (kekayaan) merupakan bentuk warisan pada umumnya. Namun, para nabi tidak mewariskan itu. Hal itu menunjukkan bahwa para nabi tidak mangambil dunia kecuali dalam kadar kebutuhan dharûriyah mereka sehingga mereka tidak mewariskan sesuatu pun dari dunia itu. Ini juga mengisyaratkan bahwa ulama pewaris para nabi itu tidak mengedepankan dunia sebagaimana juga para nabi yang mereka warisi.
Warratsû al-‘ilma, artinya yang diwariskan para nabi tidak lain adalah ilmu, yakni untuk menampakkan Islam dan menyebarkan hukum-hukumnya. Abu Hatim berkata, “Tidakkah Anda memperhatikan Beliau bersabda: Ulama adalah pewaris para nabi dan para nabi tidak mewariskan kecuali ilmu. Ilmu Nabi saw. adalah sunnahnya. Karena itu, siapa saja yang menanggalkan sunnah Nabi saw., ia bukan pewaris para nabi.”
Fa man akhadzahu akhadza bi hazhzhin wâfirin. Ba’ di sini adalah tambahan untuk menyatakan penekanan (li ta’kîd). Artinya, siapa saja yang mengambil ilmu warisan nabi, ia mengambil bagian besar atau secara sempurna; maksudnya mengambil dan mempraktikkan bagian besar dari warisan nabi. Boleh juga akhadza di sini bermakna perintah. Artinya, siapa saja yang ingin mengambil ilmu warisan nabi, hendaknya tidak tanggung-tanggung dan mengambil bagian besarnya atau secara sempurna.
Mencintai Rasululullah
Cinta adalah sebuah anugerah yang Allah SWT berikan pada setiap hati makhluknya. Sebagai manusia yang memiliki akal, kita harus bisa menempatkan cinta itu pada Allah SWT dan manusia yang tepat, manusia yang dapat membimbing kita meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat, yaitu Rasulullah SAW. Lalu bagaimanakah cara kita agar dapat mencintai Rasulullah SAW sepenuh hati? Berikut adalah cara mencintai beliau sesuai syari’at Islam serta mencontoh para salaf ash-sholih:
- Tauhidkan (Esa-kan) Allah. Rasulullah SAW diutus Allah SWT untuk menyeru kita kembali meyakini bahwa Allah adalah satu dan melarang kita mendekati syirik. Dengan tauhid yang kuat dalam dada kita, insya Allah kita akan mudah mendekatkan pada ajaran beliau.
- Ikuti ajaran Rasulullah SAW dan menjauhi larangannya. Manusia akan selalu taat kepada orang yang dicintainya. Begitu juga orang yang mencintai Rasulullah SAW yang mulia, ia akan selalu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengikuti jejak beliau, bersegera mewujudkan teladannya dan bersegera menjahui larangannya.
- Perbanyaklah shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW. Bershalawat kepadanya memliki berbagai faedah dan manfaat diantaranya dapat mendatangkan kebajikan, dikabulkannya berbagai do’a, mendapatkan syafa’at, mendatangkan shalawat Allah atas hambanya, dan selamat dari kebakhilan.
- Bencilah orang yang Allah dan Rasul-Nya benci, musuhi orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, jauhi orang yang menyalahi sunnahnya, serta bencilah semua perkara yang menyalahi Syariat.
- Cintailah orang-0rang yang dicintai Rasulullah SAW. Rasulullah SAW sangat mencintai isteri-isterinya, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan seluruh umat Islam yang berpegang teguh pada ajarannya, maka cintailah pula mereka semua.
- Benarkan dan yakinilah berita-berita yang beliau sampaikan.
- Laksanakan ibadah kepada Allah dengan tata-cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, tanpa ditambah-tambah ataupun dikurangi
- Cintailah beliau SAW melebihi kecintaan kepada diri sendiri, keluarga dan seluruh manusia
- Belalah selalu ajaran Rasulullah SAW. Cara membela ajaran beliau adalah dengan menghafal, memahami dan mengamalkan hadits-hadits Rasulullah SAW. Hidupkan pula sunnahnya dan sebarkanlah kepada masyarakat.
- Mendapatkan kesempurnaan iman dan merupakan cara untuk mendapatkan kecintaan Allah SWT.
- Akan bersama Rasulullah SAW di Akhirat
- Akan merasakan manisnya iman. Manisnya keimanan adalah merasakan lezatnya segala ketaatan dan siap menunaikan beban agama serta mengutamakan itu daripada seluruh materi dunia.
Alhamdulillahirabbilalamin
Referensi:
- “Katakanlah (wahai Muhammad), “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri (atau suami-suami) dan kaum keluarga kelian, juga harta yang kalian usahakan dan perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan rumah tempat tinggal yang kalian sukai adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah hingga Allah mendatangkan keputusan-Nya (azab)-Nya. Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang fasik (derhaka).” (QS at-Taubah : 24).
- Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Tidak, demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Maka berkatalah Umar, “Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri!” (HR. Al-Bukhari).
- “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari)
- Dari Anas bin Malik RA, “Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi SAW tentang hari kiamat, “Kapankah kiamat datang?” Nabi pun SAW menjawab, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang itu menjawab, “Wahai Rasulullah, aku belum mempersiapkan shalat dan puasa yang banyak, hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya SAW” Maka Rasulullah SAW pun bersabda, “Seseorang (di hari kiamat) akan bersama orang yang dicintainya, dan engkau akan bersama yang engkau cintai.” Anas pun berkata, “Kami tidak lebih bahagia daripada mendengarkan sabda Nabi SAW, ‘Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.’” Anas kembali berkata, “Aku mencintai Nabi SAW, Abu Bakar dan Umar, maka aku berharap akan bisa bersama mereka (di hari kiamat), dengan cintaku ini kepada mereka, meskipun aku sendiri belum (bisa) beramal sebanyak amalan mereka.” (HR. Al-Bukhari)
- Dari Anas bin Malik ra., dari Nabi saw., beliau bersabda: “Ada tiga hal, barang siapa melaksanakan ketiga-tiganya maka ia akan merasakan kelezatan iman: Orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cinta kepada yang lain, orang yang mencintai orang lain hanya karena Allah dan orang yang benci untuk kembali kekafiran sebagaimana benci untuk masuk ke dalam neraka.”(HR. Bukhari).
- “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus di kalangan tiap-tiap umat seorang rasul (agar menyeru mereka). Hendaklah kamu menyembah Allah dan jauhi Taghut.” (QS al-Nahl : 36)
- “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”. (QS. Al Anfaal (8): 24).
- “Apa yang Rasul perintahkan kjepada kalian, terimalah; apa yang Beliau larang atas kalian, tinggalkanlah”. (QS al-Hasyr : 7).
- “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya berselawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu kepada Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [QS Al-Ahzaab: 56]
- Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah SAW. pernah bersabda: ‘Celakalah orang yang mendengar namaku disebut ia tidak mau bershalawat kepadaku, celakalah orang yang pada saat bulan Ramadhan datang, lalu berlalu begitu saja sebelum memperoleh ampunan, dan celakalah orang yang mendapatkan kedua orang tuanya telah tua, tetapi tidak menjadikan ia masuk surga.” (HR. Tirmidz)
- “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang (perintah) Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu ialah bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka (yang setia) itu, Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka…” (QS Al-Mujaadilah : 22).
- “Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)
- “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21).
- Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim)
- “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” (QS. Al Ahdzab: 6)
- “Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. At Taubah: 120)
- Dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz beliau pernah menulis surat kepada Abu Bakr bin Hazm: “Perhatikanlah mana yang merupakan Hadits Rasulullah hendaklah kamu tulis karena aku khawatir musnahnya ilmu agama ini dan lenyapnya para ulama. Janganlah engkau terima riwayat selain Hadits Nabi saw. dan hendaklah kalian sebarkan ilmu Hadits ini dan hendaklah kalian duduk untuk mempelajarinya sampai orang yang tidak tahu diajari sebab ilmu ini tidak akan musnah sampai menjadi barang yang asing.” (HR. Bukhari)
- Huquq An-Nabi ‘Ala Umatihi Fi Dha’il Kitab Was Sunnah. Dr. Muhammad Khalifah Al-Tamimi
- Mahabbatu An-Nabi Wa Ta’zimuhu. Fahd bin Abdullah Al-Habisyi.
- http://www.pks-arabsaudi.org/pip//?pilih=lihat&id=203
- http://cara-muhammad.com/tips/tips-mencintai-rasulullah-saw/
- http://forum.dudung.net/index.php?topic=4346.0
0 Comment for "Kedudukan Guru di Hati Murid"