Al-Kisah, konon suatu saat ada seorang anak kecil katanya ketemu nabi Khidhir sa di tengah jembatan dekat rumahnya jalan menuju arah pasar. Setelah itu, anak tersebut mendadak pandai berpidato—tidak sebagaimana lazimnya anak pada usianya (usia belasan tahun), sehingga ia menjadi terkenal, dianggap keramat sehingga diundang ceramah dan dihormati di mana-mana. Layaknya seperti orang kesurupan Jin, anak itu berpidato dengan demikian ahlinya. Kata orang, ada roh suci yang memasuki jasadnya, sehingga kemudian anak itu menjadi kaya raya karena dia juga ternyata dapat mengobati orang sakit.
Contoh kejadian seperti ini, kalau tidak dicermati dengan benar—tentunya dengan penguasaan ilmu khusus tentang dunia Jin,—maka banyak orang menjadi korban. Karena sebentar kemudian anak itu pulih sebagaimana aslinya dengan tanpa membekaskan kemanfaatan untuk dirinya, dalam arti sebagaimana tujuan diturunkannya ilmu laduni. Fenomena seperti ini boleh jadi hanya merupakan tipu muslihat setan Jin untuk menciptakan sumber fitnah di masyarakat. Kelebihan singkat tersebut sebagai istidroj yang berangsur-angsur hilang sama sekali. Yang tertinggal kemudian hanya fenomena dan teka teki besar yang tidak terjawab. Lalu membentuk opini atau pola pikir yang salah di tengah masyarakat—tentang ilmu laduni, tentang nabi Khidhir—yang dapat menyesatkan banyak orang. Yakni ketika tapak tilas perjalanan anak kepanjingan Jin itu ditindaklanjuti orang lain dengan pencarian-pencarian. Mencari nabi Khidhir dan ilmu laduni di tengah jembatan menuju pasar, maka akibatnya, banyak aqidah akan menjadi rusak.
Tanda-tanda orang mendapatkan ilmu laduni itu bukan hanya yang asalnya tidak bisa berbahasa Arab, atau bahasa Inggris misalnya, kemudian menjadi bisa atau tidak bisa membaca kitab kuning, menjadi bisa. Terlebih dikaitkan dengan kelebihan dan kesaktian (karomah), semisal orang dapat menghilang seperti demit atau dapat terbang seperti burung, atau dapat masuk bumi seperti caceng, atau jalan cepat seperti maling. Tanda-tanda ilmu laduni itu memang terkadang dapat terbaca dengan adanya berbagai kemudahan dan kelebihan pribadi, baik aspek ilmiah maupun amaliah, namun semua itu yang menjadikan seorang hamba dapat berma’rifat kepada Tuhannya.
Kalau toh ada tanda-tanda seperti tersebut di atas, namun hal itu bukan karena orang tersebut telah mendapatkan kesaktian “tiban”, akan tetapi karena penggodokan di dalam “kawah candradimuka” telah menghasilkan buah. Potensi kecerdasan akal yang selama ini ditutupi oleh hijab, ketika hijab itu sudah diangkat maka yang sudah cerdas menjadi semakin cerdas sehingga setiap yang sudah dibaca dan dihafalkan tidak bisa lupa lagi untuk selamanya. Allah telah menyatakan yang demikian itu dengan firman-Nya: “Kami akan membacakan (Al -Qur'an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa”.(QS. al-A’la; 6)
Artinya, kalau ada orang yang asalnya tidak dapat membaca kitab kuning, dalam waktu yang relatif singkat kemudian menjadi bisa, apabila kemampuan itu didapatkan dari sumber ilmu laduni, kemampuan itu bukannya datang dengan sendirinya tanpa sebab, melainkan dengan sebab-sebab dan proses yang harus dijalani. Namun, datangnya kemampuan itu dengan jalan dimudahkan, sebagai sunnah yang tidak akan ada perubahan lagi untuk selama-lamanya. Sebagaimana sunnah-sunnah yang sudah diperjalankan Allah kepada para pendahulunya, yaitu para Nabi, ash-Shiddiq, asy-Syuhada’, ash-Sholihin.
Kalau datangnya kemampuan-kemampuan itu tanpa sebab dan tanpa proses yang harus dijalani oleh manusia, itu berarti “sulapan” atau daya sihir, yang kadang-kadang datangnya dari setan Jin, sebagai “istidroj” atau kemanjaan sementara bagi manusia dan ketika masa tangguhnya habis, berangsur-angsur akan dihilangkan lagi untuk selamanya bersama kehancuran orang yang memilikinya.
Demikian pula, ketika pencarian-pencarian sumber ilmu laduni yang dilakukan oleh seorang salik terjebak dengan gambaran personal bukan karakter. Mencari nabi Khidhir secara personal, di pinggir-pingir laut di muka bumi misalnya, bukan secara karakter di dalam lautan ruhaniah yang ada dalam hati sanubari. Mencari pertemuan dua lautan yang dapat di lihat mata, bukan lautan secara i’tibari, maka yang muncul kemudian boleh jadi penampakan visual di dalam hayal yang dihasilkan dari sihir dan tipu daya setan Jin yang sedang kasmaran.
Kalau demikian, berarti perjalanan tersebut belum menemukan tujuan yang asli, walau untuk menyelesaikan tahapan menemukan yang asli itu terkadang orang harus melalui yang palsu. Oleh karena itu yang paling utama dalam setiap amal—yang dijalankan dengan tujuan khusus—adalah fungsi guru pembimbing ahlinya. Kalau tidak demikian, dapat dipastikan bahwa perjalanan salik tersebut akan menuju jalan yang sesat.
Terkadang ada orang mengajarkan cara mendapatkan ilmu laduni dengan mengamalkan bacaan-bacaan atau "wirid khusus" tanpa diajarkan dasar ilmunya. Membaca bacaan ini dan itu, dengan cara laku seperti ini, kemudian (katanya) orang yang mengamalkan cara seperti itu akan ketemu nabi Khidhir as. lalu mendapatkan ilmu laduni dari nabi Khidhir. Yang demikian itu banyak terjadi di kalalangan para Santri. Setelah dilakukan, ternyata hasilnya sama saja, dalam arti sama-sama terjebak dalam tipu daya setan Jin, tidak mendapatkan ilmu laduni malah jadi KIKUN, Kiai Dukun. Bahkan malah ada yang menjadi gila, gila hormat, gila kedudukan, sehingga di mana-mana hidupnya hanya menimbulkan perpecahan sesama manusia.
Oleh karena itu, tawasul secara ruhaniah adalah solusi yang sangat efektif. Menjadi sarana latihan yang multi guna agar perjalanan para salik mendapatkan penjagaan dari segala tipudaya setan Jin yang menghadang. Mereka berhasil lolos dan selamat dari segala ujian serta mampu menyelesaikan segala tahapan dan tanjakan sehingga mendapatkan hasil yang diharapkan. Insya Allah.
by. Kyai Muhammad Luthfi Ghozali
Contoh kejadian seperti ini, kalau tidak dicermati dengan benar—tentunya dengan penguasaan ilmu khusus tentang dunia Jin,—maka banyak orang menjadi korban. Karena sebentar kemudian anak itu pulih sebagaimana aslinya dengan tanpa membekaskan kemanfaatan untuk dirinya, dalam arti sebagaimana tujuan diturunkannya ilmu laduni. Fenomena seperti ini boleh jadi hanya merupakan tipu muslihat setan Jin untuk menciptakan sumber fitnah di masyarakat. Kelebihan singkat tersebut sebagai istidroj yang berangsur-angsur hilang sama sekali. Yang tertinggal kemudian hanya fenomena dan teka teki besar yang tidak terjawab. Lalu membentuk opini atau pola pikir yang salah di tengah masyarakat—tentang ilmu laduni, tentang nabi Khidhir—yang dapat menyesatkan banyak orang. Yakni ketika tapak tilas perjalanan anak kepanjingan Jin itu ditindaklanjuti orang lain dengan pencarian-pencarian. Mencari nabi Khidhir dan ilmu laduni di tengah jembatan menuju pasar, maka akibatnya, banyak aqidah akan menjadi rusak.
Tanda-tanda orang mendapatkan ilmu laduni itu bukan hanya yang asalnya tidak bisa berbahasa Arab, atau bahasa Inggris misalnya, kemudian menjadi bisa atau tidak bisa membaca kitab kuning, menjadi bisa. Terlebih dikaitkan dengan kelebihan dan kesaktian (karomah), semisal orang dapat menghilang seperti demit atau dapat terbang seperti burung, atau dapat masuk bumi seperti caceng, atau jalan cepat seperti maling. Tanda-tanda ilmu laduni itu memang terkadang dapat terbaca dengan adanya berbagai kemudahan dan kelebihan pribadi, baik aspek ilmiah maupun amaliah, namun semua itu yang menjadikan seorang hamba dapat berma’rifat kepada Tuhannya.
Kalau toh ada tanda-tanda seperti tersebut di atas, namun hal itu bukan karena orang tersebut telah mendapatkan kesaktian “tiban”, akan tetapi karena penggodokan di dalam “kawah candradimuka” telah menghasilkan buah. Potensi kecerdasan akal yang selama ini ditutupi oleh hijab, ketika hijab itu sudah diangkat maka yang sudah cerdas menjadi semakin cerdas sehingga setiap yang sudah dibaca dan dihafalkan tidak bisa lupa lagi untuk selamanya. Allah telah menyatakan yang demikian itu dengan firman-Nya: “Kami akan membacakan (Al -Qur'an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa”.(QS. al-A’la; 6)
Artinya, kalau ada orang yang asalnya tidak dapat membaca kitab kuning, dalam waktu yang relatif singkat kemudian menjadi bisa, apabila kemampuan itu didapatkan dari sumber ilmu laduni, kemampuan itu bukannya datang dengan sendirinya tanpa sebab, melainkan dengan sebab-sebab dan proses yang harus dijalani. Namun, datangnya kemampuan itu dengan jalan dimudahkan, sebagai sunnah yang tidak akan ada perubahan lagi untuk selama-lamanya. Sebagaimana sunnah-sunnah yang sudah diperjalankan Allah kepada para pendahulunya, yaitu para Nabi, ash-Shiddiq, asy-Syuhada’, ash-Sholihin.
Kalau datangnya kemampuan-kemampuan itu tanpa sebab dan tanpa proses yang harus dijalani oleh manusia, itu berarti “sulapan” atau daya sihir, yang kadang-kadang datangnya dari setan Jin, sebagai “istidroj” atau kemanjaan sementara bagi manusia dan ketika masa tangguhnya habis, berangsur-angsur akan dihilangkan lagi untuk selamanya bersama kehancuran orang yang memilikinya.
Demikian pula, ketika pencarian-pencarian sumber ilmu laduni yang dilakukan oleh seorang salik terjebak dengan gambaran personal bukan karakter. Mencari nabi Khidhir secara personal, di pinggir-pingir laut di muka bumi misalnya, bukan secara karakter di dalam lautan ruhaniah yang ada dalam hati sanubari. Mencari pertemuan dua lautan yang dapat di lihat mata, bukan lautan secara i’tibari, maka yang muncul kemudian boleh jadi penampakan visual di dalam hayal yang dihasilkan dari sihir dan tipu daya setan Jin yang sedang kasmaran.
Kalau demikian, berarti perjalanan tersebut belum menemukan tujuan yang asli, walau untuk menyelesaikan tahapan menemukan yang asli itu terkadang orang harus melalui yang palsu. Oleh karena itu yang paling utama dalam setiap amal—yang dijalankan dengan tujuan khusus—adalah fungsi guru pembimbing ahlinya. Kalau tidak demikian, dapat dipastikan bahwa perjalanan salik tersebut akan menuju jalan yang sesat.
Terkadang ada orang mengajarkan cara mendapatkan ilmu laduni dengan mengamalkan bacaan-bacaan atau "wirid khusus" tanpa diajarkan dasar ilmunya. Membaca bacaan ini dan itu, dengan cara laku seperti ini, kemudian (katanya) orang yang mengamalkan cara seperti itu akan ketemu nabi Khidhir as. lalu mendapatkan ilmu laduni dari nabi Khidhir. Yang demikian itu banyak terjadi di kalalangan para Santri. Setelah dilakukan, ternyata hasilnya sama saja, dalam arti sama-sama terjebak dalam tipu daya setan Jin, tidak mendapatkan ilmu laduni malah jadi KIKUN, Kiai Dukun. Bahkan malah ada yang menjadi gila, gila hormat, gila kedudukan, sehingga di mana-mana hidupnya hanya menimbulkan perpecahan sesama manusia.
Oleh karena itu, tawasul secara ruhaniah adalah solusi yang sangat efektif. Menjadi sarana latihan yang multi guna agar perjalanan para salik mendapatkan penjagaan dari segala tipudaya setan Jin yang menghadang. Mereka berhasil lolos dan selamat dari segala ujian serta mampu menyelesaikan segala tahapan dan tanjakan sehingga mendapatkan hasil yang diharapkan. Insya Allah.
by. Kyai Muhammad Luthfi Ghozali
Labels:
Khalifah Bumi
Thanks for reading ILMU LADUNI, Bukan Sulapan. Please share...!
0 Comment for "ILMU LADUNI, Bukan Sulapan"