Sejatinya, bahwa merubah setiap kebiasaan sama seperti merubah seorang hakim dan penguasa, memerlukan perencanaan yang betul-betul matang, pengawasan intensif, mengerahkan seluruh energi dan kemampuan.
Demikian halnya yang dituturkan Imam Ali as:"Aktifitas yang paling sulit adalah merubah kebiasaan yang ada".
Manusia merupakan ciptaan yang terdiri dari dua unsure, jasmani dan rohani dimana ketika mengalami kedewasaan berpikir, maka dari kedua unsure tersebut pun muncul keinginan-keinginan yang relative banyak dan terkadang diantara keinginan tersebut terjadi pertentangan. Keinginan-keinginan unsure jiwa dan rohani – menariknya untuk selalu melangkah ke hal-hal yang sifatnya positif dan maqam tinggi (sebaik-baik ciptaan; Qs. At Tin:5) dan tuntutan-tuntutan yang sumbernya dari unsure fisik – senantiasa menyeret ke dunia dan segala kemegahannya yang tak bernilai (Asfala safilin; Qs. At Tin:6). Diantara ini semua, salah satu gejolak batin manusia yang meyakini pada dasar-dasar agama, adalah hubungannya dengan benturan-benturan internal ini; ia senantiasa berusaha untuk meraih kesuksesan dalam medan jihad yang dianggap Nabi saw sebagai jihad dan perjuangan terbesar dan keluar dengan selamat serta sebagai pemenang.
Kalau manusia hendak sukses dalam medan tempur yang cukup dahsyat ini, maka ia harus dengan segenap power[1] dan dengan bersandar pada pemikiran dan keinginan kuat serta menghindari usaha-usaha yang sifatnya pasif, berusaha untuk mengatur dan mendidik jiwanya; yang mana merupakan sebuah perkara yang senantiasa ditegaskan dalam untaian-untaian kalimat para Imam Ma'shum as; dalam sebuah ungkapan yang sangat indah, Imam Shadiq as menuturkan bahwa: "kalau saja umur kalian tinggal dua hari lagi, maka gunakanlah satu hari dari umur kalian itu untuk men-terbiyah diri dan jiwa kalian supaya kalian bisa mendapatkan manfaat ketika pergi meninggalkan kehidupan dunia ini (baca; mati)".
Ucapan ini dengan jelas menerangkan bahwa kalau manusia dalam berusaha mendidik jiwa, ia menggunakan sebagian dari kapasitasnya, kemampuan dan modal umurnya maka kelak ia akan menemukan kelayakan yang luar biasa.
Dalam kesempatan ini, kami akan menjelaskan tentang tahapan-tahapan bagaimana manajemen dan mendidik jiwa dan nafs sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Imam Ali as. Tentu semuanya sepakat bahwa kajian semacam ini merupakan sesuatu yang cukup luas yang memerlukan waktu dan kesempatan yang lebih. Adapun tahapan-tahapan tentang bagaimana mengatur dan mendidik jiwa ini dalam sabda Imam Ali as adalah diantaranya:
1. Merubah Kebiasaan Buruk
Kalau saja kita sedikit merenungi sikap serta tingkah laku umat manusia, dengan cukup mudah kita akan melihat bahwa sebagian besar dari sikap dan tindakannya itu, siang dan malam, bersumber dari kebiasaan-kebiasaan yang mana muncul dalam kehidupannya; cara bicaranya, jalannya, interaksinya dengan yang lain, cara makannya dan bahkan ibadah-ibadah yang mereka lakukan, itu semua terbentuk dari kebiasaan-kebiasaannya. Kalau saja kebiasaan ini berdasarkan pada program yang sistematis dan bersumber pada aturan-aturan Islam, maka sebagian besar dari kehidupan manusia itu dapat ia control dengan mudah.
Terkait hal ini, para ulama ilmu akhlak memberikan wejangan bahwa manusia pada langkah awal dalam mendidik jiwanya, harus berusaha mengenali seluruh kebiasaan-kebiasaan yang negative itu dan secara bertahap, sesuai dengan perjalanan waktu, menggantikannya dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan positif. Tentunya sangat jelas bahwa merubah kebiasaan buruk itu menjadi kebiasaan baik merupakan hal yang sangat rumit dan sulit dan memerlukan kesabaran dan konsistensi; Imam Ali as bersabda:"kebiasaan dan adat bagi setiap manusia memiliki kekuasaan".[2]
Sejatinya, bahwa merubah setiap kebiasaan sama seperti merubah seorang hakim dan penguasa, memerlukan perencanaan yang betul-betul matang, pengawasan intensif, mengerahkan seluruh energi dan kemampuan. Demikian halnya yang dituturkan Imam Ali as : "aktifitas yang paling sulit adalah merubah kebiasaan yang ada".[3] Tahapan ini meskipun sulit, namun kenyataannya bahwa seorang manusia kalau ia tidak bisa melintasi tahapan meninggalkan kebiasaan negative ini, bagaimana mungkin ia bisa menaklukkan nafsunya dan menggiringnya?! Jadi, dengan memohon pertolongan Allah Swt dan dengan perencanaan dan pengawasan yang intensif, mesti mengambil sebuah sikap dan langkah dan perlu kita ketahui bahwa tanpa meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut, manusia tidak akan pernah mencapai derajat-derajat spiritual dimana Imam Ali as menyabdakan : "orang yang tetap mengikuti kebiasaan-kebiasaan dirinya, tidak akan pernah sampai dan mencapai maqam dan derajat maknawi serta spiritual."[4]
Ketika seorang manusia telah meninggalkan seluruh kebiasaan buruknya dan menggantikannya dengan kebiasaan yang baik dan positif dan seluruh sikap dan ucapannya itu sesuai dengan aturan dan anjuran agama dan mencontoh metode dan cara para Imam Ma'shum as dan berhasil melintasi tahapan ini, maka ia akan sampai pada sebuah maqam dan kedudukan yang mana ia yang memilih kebiasaan itu. Dengan ini, ia tidak akan pernah lagi melakukan sesuatu berdasarkan kebiasaan dan adapt, akan tetapi ia akan memilih setiap perbuatan dengan berdasar pada pilihan dan hasil renungannya dan dalam pengoperasian akan terhindar dari kelalaian yang merupakan bahaya dari kebiasaan-kebiasaan tersebut.
2. Memaksa Diri Untuk Melaksanakan Ketaatan
Setelah melewati tahapan pertama, kita harus memaksa diri dan jiwa ini untuk melaksanakan ketaatan dan penghambaan kepada Allah Swt. Dari ungkapan "memaksa" lahirlah poin ini bahwa nafsu senantiasa bersikeras untuk menghindar dari melaksanakan ibadah dan ketaatan kepada Allah Swt dan manusia harus memaksanya untuk menerima firman-firman Allah Swt.
Sampainya pada maqam dan kedudukan ketaatan dan penghambaan pada Yang Hak (baca; Allah), merupakan keberhasilan dalam meraih kemuliaan tertinggi bagi manusia di dunia yang fana ini dimana seperti yang dituturkan hamba Allah Swt yang ikhlas, Imam Ali as, ketika bermunajat:"Wahai Tuhan-ku, cukuplah kemuliaan ini bagiku, dimana aku menjadi hamba-Mu dan cukuplah kebanggaan ini pula bagiku, dimana Engkau menjadi Tuhan-ku. Engkau sebagaimana yang aku inginkan, maka jadikanlah diri ini sebagaimana yang Engkau cintai."[5]
Untuk sampai pada maqam dan kedudukan taat dan penghambaan pada Allah Swt, memerlukan mukaddimah yang dintaranya yang terpenting adalah sebagai berikut:
Pertama: ma'rifat dan mengenal Allah Swt: tahapan pertama yang harus dilalui manusia untuk sampai pada maqam ketaatan dan penghambaan adalah ma'rifat dan mengenal-Nya. Tanpa mengenal bagaimana mungkin ketaatan itu bisa terealisasi?! Kalau tidak demikian, maka ayat Al Qur'an yang bunyinya "Taatilah Allah" tidak akan ditujukan kepada "Orang-orang yang beriman"?![6] hanya orang yang berimanlah yang menjadi lawan bicara Allah Swt.
Seorang manusia yang ingin menduduki maqam 'Taat' dan bisa mengendalikan nafsunya ditengah-tengah kehidupan material yang penuh duri ini, ia harus berusaha dengan cara meniti jalan ma'rifat dan mengenal Allah Swt. Ia harus memperkuat setiap saat keimanan dan ma'rifatnya tentang Dia dengan merenungi ayat-ayat dan tanda-tanda kekuasaan Allah Swt di jagad raya ini. Dimana dalam salah satu firmannya yang sangat indah:"Kami akan memperlihatkan ayat-ayat dan tanda-tanda kami di jagad raya ini dan juga di dalam diri kalian sehingga menjadi jelas bagi mereka bahwa Allah Swt adalah hak dan benar."[7]
Manusia yang seperti ini harus mengantarkan dirinya kepada pengenalan dan ma'rifat yang berdasar pada hasil tafakkur dengan cara menghindari kepercayaan dan keyakinan yang sifatnya musiman (Qs. Al Ankabut:65) dimana kadang bersama dia dan kadang tidak dan pada hakikatnya keyakinan kepada Tuhan itu digantikan kepada yang lainnya dan juga dengan cara melintasi pengetahuan yang rendah (Qs. Hujurat:14) dimana padanya tidak ada yang bisa mengakar dan hanya menyibukkan dia dengan hal-hal yang bersifat lahiriah dari keyakinan dan kepercayaan tersebut dan juga melepaskan diri dari segala bentuk keyakinan yang sifatnya taklid buta (Qs. Al Baqarah: 170), yang tidak akan mampu membantu manusia dalam menanggung beban penghambaan dan pada puncaknya menjauhi keyakinan yang hanya mengandalkan kebersihan batin tanpa kebersihan lahiriah.(biasanya dalam Al Qur'an kata-kata "orang-orang yang beriman" selalu disertai dengan "amal saleh"). Manusia mukmin mesti mendasari keyakinan dan kepercayaannya itu pada hasil pemikiran dan tafakkur (Qs. Ali Imran:190 dan 191) dan hendaknya pandangannya itu atas jagad ini hanya kepada Allah Swt semata dan ia menganggap-Nya sebagai pemilik segala sifat dan nama-nama yang baik (asmaul husna). (Qs. Thaha:8).
Kedua: memiliki hati yang sehat: hati manusia ketika ia bersih dari segala bentuk penyakit dan akhlak buruk serta kondisinya kembali pada awalnya (sehat dan bersih), maka akan memiliki kesiapan untuk menaati dan melaksanakan seluruh perintah yang datang dari Allah Swt. Imam Ali as dalam sebuah tuturnya yang sangat indah menyabdakan:"Sungguh bahagia orang yang memiliki hati yang sehat, ia akan menaati Tuhan Sang Pemberi Petunjuk, menjauhi setan yang selalu menyesatkan, dengan bimbingan manusia-manusia suci dan langitan, ia mencapai jalan keselamatan dengan penuh kesadaran dan melaksanakan tuntunan pembimbingnya dan bersegera kepada jalan kebahagiaan sebelum pintu-pintu dan wasilahnya tertutup…."[8]
Ketika hati itu bersih dari segala bentuk penyakit batin; yaitu akhlak buruk dan sampai pada keselamatan, maka segala bentuk kebaikan dan kebersihan akan diterimanya. Pada kondisi hati seperti ini, akan nampak dan terasa betapa manis dan nikmatnya taat dan penghambaan diri itu pada Allah Swt. Pada kondisi hati seperti ini, penghambaan pada Allah Swt akan menjadi puncak keagungan manusia. Ketika seorang manusia merasakan manis dan nikmatnya penghambaan itu, maka ia akan senantiasa mempersiapkan dirinya untuk menerima segala biaya dan pengorbanan ketaatan kepada Allah Swt; yaitu menafikan segala sesuatu selain Dia.
Ketiga: menghindari rasa bangga diri: untuk sampai pada maqam "ketaatan" tanpa membuang jauh-jauh sifat "ananiyah"(egois) merupakan sesuatu yang sangat mustahil. Seorang manusia ketika hendak menaati yang lain, harus – setelah mengenal-Nya – menyerahkan diri dan pasrah terhadap-Nya dan pada jalan ini tidak ada lagi artinya melihat sebuah berhala bernama "aku", apatahlagi menganggap dirinya sebagai pemilik titah.
Para ulama besar dalam bidang akhlak dan irfan menuturkan bahwa: langkah yang paling penting untuk sampai kepada Allah Swt adalah langkah dimana manusia tidak lagi menghiraukan diri, keinginan-keinginan serta segala kecenderungan dirinya dan ia mampu melewati segala kemewahan dunia yang menipu yang sesuai keinginan atau kecenderungan dirinya dan kemudian dengan mudah ia akan terbang ke langit ma'rifat dan ketaatan pada Sang Khaliq. Disini kita perlu merenungi sabda Imam Shadiq as sebagai berikut:"Ketahuilah bahwa antara Allah Swt dan hamba-hamba-Nya, tidak malaikat yang menjadi perantara dan tidak pula nabi serta tak seorang pun, kecuali ketaatannya kepada Allah Swt; jadi berusahalah dalam menaati Allah Swt."[9]
3. Menebus Masa Lalunya yang Buruk
Manusia di sepanjang umur hidupnya, terkadang tidak bisa menjaga sikap, ucapan dan pikirannya dan betapa banyak orang yang menapaki jalan panjang ini memiliki pelanggaran dan kesalahan dimana untuk bisa memetik buah dari pohon tabiyah tersebut, ia harus menyiapkan dirinya untuk membayar dan mengorbankan segala yang dimilikinya untuk menebus segala pelanggaran dan kesalahannya tersebut serta menanggung kesulitan dan derita yang sementara ini. Untuk melewati tahapan ini, Islam memberikan solusi berupa "Taubat" dan ini merupakan kesempatan emas yang sengaja disiapkan untuk dirinya. Betapa indah untaian hikmah yang dilontarkan Imam Zaenal Abidin as, berikut ini: "Wahai Tuhan-ku, Engkau adalah yang membuka pintu maaf bagi hamba-hamba-Mu yang Engkau menyebutnya dengan 'At Taubah' kemudian Engkau berfirman: bertaubatlah kalian kepada Allah Swt dengan sebenar-benarnya taubat. Jadi uzur (halangan) apa gerangan yang membuat orang lalai dari memasuki pintu ini (baca; taubat)?!."[10]
Kalau seseorang punya maksud dan niat untuk sukses dalam mengatur dan mentarbiyah jiwanya, maka ia harus mencuci segala tindak kebodohan dan masa lalunya itu dengan cara bertaubat dan menjauhi serta membersihkan diri dari segala bentuk kelalaian serta memanfaatkan segala pikiran dan usahanya itu semata untuk mengabdi kepada Allah Swt.
Tentang makna menyeluruh istigfar dan taubat, mesti perlu mengisyaratkan kepada kalam Imam Ali as dimana beliau menjelaskan hakikat istigfar tersebut dalam enam tahapan:
Seseorang ada bersama Imam Ali as dan tanpa perhatian yang semestinya mengatakan:"Astagfirullah".
Imam Ali as berkata:"hendaknya ibumu menangis karenamu; tahukah kamu arti istigfar itu apa? Istighfar itu merupakan sebuah tingkatan yang tinggi dan memiliki enam makna:
- Pertama : menyesal atas apa yang telah kamu lakukan;
- Kedua : bertekad untuk tidak mengulangi kembali perbuatan yang lalu;
- Ketiga : membayar seluruh hak orang lain serupa mungkin dimana ketika menemui Allah Swt, kamu dalam kondisi yang bersih dan tidak punya beban tanggungan;
- Keempat : seluruh kewajiban yang telah kamu tinggalkan, lakukan dan penuhilah dan tunaikanlah sebagaimana mestinya;
- Kelima : daging tubuhmu yang mana tumbuh dari yang haram, lelehkanlah dengan cara penyesalan yang luar biasa, sampai betul-betul kulit menempel pada tulang dan daging baru yang tumbuh dari badan kamu;
- Keenam : rasakanlah ke tubuh anda akan beratnya ketaatan dan penghambaan tersebut, sebagaimana halnya anda rasakan kepada badan anda bagaimana manisnya berbuat dosa.
4. Melakukan Perbuatan Baik
Seorang manusia yang berusaha untuk mendidik dirinya, selain melaksanakan segala kewajiban Ilahi dan taklif, juga harus menciptakan system keamanan atas kewajiban-kewajibannya dari serangan berupa bisikan-bisikan setan dengan cara melaksanakan perbuatan dan amalan mustahab (yang dianjurkan) dan juga amal saleh. Ketika seorang manusia telah menciptakan wilayah keamanan ini dalam bentuk perbuatan yang sifatnya tidak wajib dan perbuatan-perbuatan baik atas beban-beban dan kewajibannya, maka ketika itu anak panah yang dipenuhi racun keraguan dan kemalasan, yang tentunya bersumber dari musuh nyata manusia, setan, (Qs. Fathir:6), akan mengarah kepadanya, dan akan menyibukkannya pada masalah-masalah yang sifatnya sunnat dan mustahab serta akan membuatnya meninggalkan atau bermalas-malasan melaksanakan kewajiban yang mesti dilakukannya.
Menghiasi diri dengan akhlak mulia dan terpuji serta amal saleh, selain menempatkan manusia pada kondisi terjaga dari segala bentuk kesesatan, ia juga akan memperkuat energi manusia dalam melaksanakan penghambaan dan ketaatan kepada-Nya. Rasulullah saw bersabda : "Saya menemukan hasil dari perbuatan baik itu, dimana ia membuat hati bercahaya dan wajah berbinar-binar serta memberikan energi dan kekuatan."[12]
5. Menjaga dari Melakukan Dosa
Dosa adalah manusia itu tidak menjaga batas dan aturan dan melakukan segala apa yang Allah Swt larang. Dosa adalah sebuah penyakit yang sangat berbahaya dan layaknya hewan yang membangkan dimana kalau seorang manusia mencoba mengendarainya, maka akan dibawanya sampai terjerembab ke dalam neraka; Imam Ali as bersabda:"Ketahuilah bahwa sesungguhnya dosa-dosa itu ibarat kendaraan yang rusak dan membangkan dimana para penunggannya (para pendosa) akan dijerumuskan ke dalam api jahannam."[13]
Supaya manusia terjaga dari melakukan dosa dan mengobati maksiat dan pembangkangannya itu dalam hidupnya, maka sangat sesuai jika ia melaksanakan ketiga tahapan berikut ini:
pada langkah pertama, manusia harus percaya bahwa dosa merupakan sebuah penyakit dan kekurangan; dalam Al Qur'an dan riwayat-riwayat banyak ditegaskan tentang dosa-dosa tersebut merupakan sebuah penyakit dan sangat jelas bahwa selama seorang manusia tidak menerima bahwa dosa itu adalah sebuah penyakit dan tidak melihatnya sebagai sebuah kekurangan dan kecacatan, maka tak akan pernah ia berpikir untuk mengobatinya. Berobat dan menyelesaikan masalah itu bisa dianggap hanya ketika inti masalah tersebut kita terima. Sebagaimana yang dinyatakan Al Qur'an ketika berbicara kepada para istri Nabi dan juga kepada seluruh kaum wanita. (Qs. Al Ahzab:33). Dalam ayat ini menganggap bahwa ketidak terjagaan (non-iffah) itu merupakan penyakit hati.
Mempercayai adanya pengaruh dari dosa-dosa tersebut; dosa dalam banyak riwayat dianggap memiliki pengaruh yang bermacam-macam dan sangat berbahaya pada kehidupan pribadi manusia, keluarga dan social dimana untuk memiliki motifasi yang cukup dalam mengobati dosa dan mengeluarkan biaya untuknya, maka mesti menerima pengaruh dan dampak serta bahaya dari dosa tersebut. Diantara dampak dan imbas dari dosa tersebut antara lain: dosa seorang manusia itu bisa membawanya kepada mendustai ayat-ayat Allah Swt. (Qs. Rum:10); dosa akan membuat nikmat tersebut berubah (Muhammad Ya'qub Kulaini, Al Kafi, jilid 3, hal. 376); dosa membuat umur manusia menjadi pendek (Abu Ja'far Thusi, Amali, hal. 305 dan Muhammad Baqir Majlisi, Biharul Anwar, jilid 5, hal. 140); dosa menyebabkan tidak terkabulnya doa-doa (Muhammad Ya'qub Kulaini, al Kafi, jilid 2, hal. 271); dosa dapat menyebabkan berkuasanya kejahatan dan kezaliman di tengah masyarakat Islam (Hurra Amili, Wasailus Syi'ah, jilid 11, hal 242); dan lain-lain.
Setelah menerima bahwa dosa itu merupakan sebuah penyakit dan juga mengabulkan bahwa ia memiliki dampak yang bisa merusak, pada langkah ketiga dalam rangka mengobati maka harus ditemukan dalam diri ini penyebab dari dosa tersebut. Kalau seorang manusia percaya dan meyakini akan adanya mabda' dan ma'ad, menyerahkan diri pada kehidupan duniawi dengan melakukan dosa, pasti memiliki sebab dimana menemukannya itu sangat bisa membatu dia dalam mengobati dirinya. Umumnya bahwa dosa yang dilakukan manusia mungkin saja memiliki sebab yang bermacam-macam, namun pada manusia yang memiliki keyakinan, meskipun itu hanya sedikit saja, terhadap prinsip-prinsip agama, terdapat dua sebab asli mereka bisa melakukan perbuatan dosa dan kalau seorang manusia mampu mengontrol sebab ini yang tentunya dengan sebuah program, maka peluang dosa yang ada dalam dirinya akan terhapuskan. Penyebab pertama adalah kelalaian manusia dan yang kedua adalah kecenderungan-kecenderungan serta instink manusia yang merupakan nikmat pemberian Tuhan kepada diri manusia dan kalau kedua hal ini bisa terkontrol dengan baik dengan cara dan metode yang baik (yang diatur dalam Islam) maka nantinya akan terhindar dari melakukan dan mengulangi perbuatan dosa.
Bahan Bacaan :
- Sumber Artikel : TELAGA HIKMAH.ORG
- Al Qur'an.
- Nahjul Balaghah, terjemahan Muhammad Dasyti.
- Muhammad bin Ali bin Babwaih, Al Amali, yayasan al Bi'tsah, cetakan pertama 1417 H.
- Muhammad Baqir MAjlisi, Biharul Anwar, yayasan Al Wafa, Beirut, cetakan kedua 1403 H.
- Muhammad bin Ya'qub Kulaini, Al Kafi, Darul Kutub al Islamiyah, cetakan ketiga 1388 Syamsi.
- Muhammad bin Hasan Hurra Amili, Wasailus Syi'ah, Darut Turats al 'Arabi.
- Muhammad Rei Syahri, Mizanul Hikmah, Daftar-e tablighat-e Islami Hauzeh Ilmiyah Qom, cetakan keempat 1371 Syamsi.
- Ali bin Muhammad Laitsi, 'Uyunul Hikam wal Mawa'izh, Darul Hadits, cetakan pertama 1376 Syamsi.
- Muhammad bin Ali Karajiki, Kanzul Fuad, Maktabah Al Mushthafawi, Qom, cetakan kedua 1410 H.
- Abbas Qumi, Mafatihul Jinan, Intisyarat Uswah.
- Ali bin Hisamuddin Hindi, Kanzul 'Ummal, yayasan Al Risalah, Beirut.
- Abul Fadhl Ali Tabarsi, Misykatul Anwar fi Ghuraril Akhbar, Maktabah Al Haidariyah, Najaf, cetakan kedua.
- Husain Nuri Tabarsi, Mustadrakul Wasail wa Mustambitul Masail, yayasan Alul Bait Li Ihyaitturats, cetakan pertama 1408 H.
- Abu Ja'far Muhammad bin HAsan Thusi, Al Amali, Daruts Tsaqafah, Qom, cetakan pertama 1414 H.
- Syeikh Mufid, Al Ikhtishas, Jam'eh Mudarrisin Hauzah Ilmiyah Qom.
- Sayyid Murtadha, Al Amali, Maktabah Al Mar'asyi al Najafi, cetakan pertama 1403 H.
- Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, Darul Ihyail Kutub al 'Arabiyah.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Labels:
CAHAYA QALBU
Thanks for reading Tips Mendidik Jiwa. Please share...!
0 Comment for "Tips Mendidik Jiwa"