Siapa yang hanya hendak mengandalkan rasionya dan tidak mengandalkan kalbunya, maka dia telah mereduksi kemanusiaannya. Itu persis seseorang yang ingin menikmati musik dengan matanya atau persis seseorang yang ingin berjalan dengan kepalanya. Dan, cahaya Ilahi itu bisa diperoleh melalui pembersihan hati (kalbu).
Ada perbedaan antara siraman rohani dan uraian ilmiah. Uraian ilmiah itu arahnya ke akal kita serta baru dianggap baik dan sukses kalau ada sesuatu yang baru diterima, berbeda dengan siraman rohani. Siraman rohani itu tertuju ke kalbu kita, yang bisa saja didengar berulang-ulang karena belum mantap di hati sebelumnya, sehingga pengulangan itu akan memantapkan hatinya, apalagi kalau hati itu terbuka.
Itulah salah satu perbedaan antara uraian ilmiah dan uraian yang bersifat siraman rohani, karena memang ilmu itu berbeda dengan iman. Ilmu itu titik tolaknya akal, sedangkan iman itu titik tolaknya kalbu; Iman itu menyesuaikan seseorang dengan jati dirinya, sedangkan ilmu itu menyesuaikan seseorang dengan lingkungannya; Ilmu itu mempercepat seseorang sampai ke tujuan, sedangkan iman itu menentukan arah yang dituju seseorang; Iman itu revolusi internal, sedangkan ilmu itu revolusi eksternal; Iman itu memelihara seseorang dari petaka ukhrawi, sedangkan ilmu itu memelihara seseorang dari petaka duniawi; Iman itu diibaratkan dengan air bah yang suaranya sangat germuruh tetapi selalu menenangkan pemiliknya, sedangkan ilmu itu diibaratkan dengan air telaga yang jernih tetapi tidak jarang mengeruhkan hati pemiliknya.
Dalam tulisan yang singkat ini, saya ingin menguraikan tentang Fathullah. “Fath” itu terambil dari kata fataha yang artinya membuka. Sesuatu yang terbuka tadinya tertutup, tidak dibuka kalau dia sudah terbuka, kecuali kalbu. Bisa saja kalbu itu sudah terbuka tetapi masih harus dibuka lagi, dalam arti dilebarkan dan dilebarkan lagi, hingga makin banyak cahaya Ilahi yang ditampung. Ketika kita berkata fathullah, maka yang membuka itu adalah Allah. Hati ini dalam bahasa al-Quran biasa dilukiskan dengan kata nafs, biasa dilukiskan dengan kata qalbu, dan biasa juga dilukiskan dengan kata fu’ad.
Nafs adalah sisi dalam manusia, sedangkan qalbu mempunyai tiga tempat, yaitu: pertama, mengandung segala sesuatu yang disadari manusia dan dia tidak segan orang lain tahu isinya; kedua, segala sesuatu yang disadari manusia tetapi dia enggan diketahui orang lain. Itulah yang dirahasiakan; dan ketiga, sesuatu yang pernah diketahui oleh manusia tetapi sudah dilupakan, sehingga dia telah berada di bawah sadar manusia. Fu’ad adalah apa yang disadari.
Allah berfirman, “intajhar bil qaul fainnahu ya’lamu as-sirra wa akhfa”. Kalau engkau berucap dengan ucapan yang jelas, maka Allah mengetahui itu dan mengetahui yang rahasia, mengetahui juga yang lebih rahasia dari rahasia (kalbu).
Ada juga yang dinamakan al-futuhat al-Ilahiyah dan al fath ar-rabbani, selain istilah fathulllah. “Fath” bisa digunakan untuk terbukanya kalbu dalam menerima pengetahuan. Pengetahuan terbagi dua, yaitu ada yang diusahakan manusia, yang diisyaratkan dengan ‘allama bil qalam, dan ada yang tidak diusahakan manusia, yang diisyaratkan oleh ‘allama al-insana ma lam ya’lam. Yang terakhir ini puncaknya adalah wahyu dan tingkat yang paling rendah adalah mimpi. Mimpi ada yang merupakan sesuatu yang dipikirkan sebelum tidur dan ada yang merupakan sesuatu yang dialami sewaktu tidur, kemudian melahirkan mimpi, seperti orang yang mimpi tercekik, boleh jadi ada bantal di lehernya. Ada juga mimpi yang bersumber dari Allah Swt, itulah mimpi orang-orang shaleh dan mimpi yang dialami oleh para Nabi, seperti yang dialami Nabi Yusuf As. dan Nabi Ibrahim As. Mimpi ini menjadi salah satu bentuk dari al fath ar-rabbani, terbukanya apa yang tersingkap.
Semua yang bersumber dari Allah Swt. adalah cahaya Ilahi. Cahaya Tuhan itu wahyu Tuhan yang bisa dilukiskan seperti sinar matahari, bukan saat teriknya matahari tetapi saat naiknya matahari sepenggalan. Itulah waktu adh-dhuha. Sinar ini tidak membeda-bedakan objeknya. Siapapun yang bersedia keluar, dia akan mendapatkan sinar itu. Siapapun yang membuka hatinya, niscaya Allah akan mencurahkan cahaya ke dalam hatinya. Tetapi ingat, sinar hanya menembus objek yang transparan. Sinar tidak menembus tembok ini. Tetapi, sinar itu bisa memantul. Bisa saja saya menyampaikan informasi yang tidak mau anda terima, tetapi justru diterima dan dimanfaatkan oleh orang lain. Sinar Ilahi persis seperti itu, tidak membeda-bedakan. Dia akan menjadi al-fath ar-rabbani atau terbukanya hati yang hanya akan dilakukan oleh Allah, apabila hati ini merupakan sebuah tempat yang transparan.
Semua anugerah Allah yang berupa kebajikan itu tidak akan terlaksana kecuali setelah melalui tiga fase, yaitu datang dari Allah Swt, datang dari manusia, dan datang lagi dari Allah. Saya akan berikan contoh, bagaimana al-fath ar-rabbani atau terbukanya hati itu melangkah. Langkah yang pertama adalah memperoleh taubat. Taubat itu adalah stasiun pertama menuju Allah Swt. Taubat tidak bisa terlaksana kecuali kalau Allah terlebih dulu membuka langkah itu. Baca sewaktub Adam As. berdosa, Allah melangkah lebih dulu dengan memberikan kalimat-kalimat kepada Adam As, “fatalaqqa adamu min rabbihi kalimat”. Begitu dia menerima ayat-ayat itu, datang langkah kedua dari Adam dengan membaca doa, “rabbana dzalamna anfusana fain lam taghfirlana wa tarhamna lanakunanna min al-khasirin”. Setelah itu, baru datang pengabulan taubat Allah sebagai langkah ketiga.
Allah Swt melalui rasulnya sudah melangkah yang pertama bersama rasulnya. Setelah turun ayat-ayat al-Quran ini, terserah kita apa kita sudah siap membuka hati kita. Kalau siap, yakinlah bahwa al-fath ar-rabbani akan datang kepada kita yang telah membuka hatinya. Adapun yang menutup hatinya jangan harap akan memperoleh fathullah itu (al-fath ar-rabbani). Sinar matahari itu bermacam-macam, ada yang dapat kita lihat dengan pandangan mata kita, tetapi ada juga sinar yang tidak terdeteksi oleh mata kita, ada sinar gamma, ada gelombang-gelombang radio, dan ada juga yang dinamakan dengan sinar ultra violet.
Orang-orang yang terbuka hatinya akan menyadari bahwa boleh jadi ada hal-hal dalam kehidupan dunia ini atau dalam firman-firman Allah yang baru masuk ke dalam hati bukan melalui rasio tetapi melalui kalbu. Ini perlu saya tekankan, apalagi para mahasiswa. Ada orang yang berkata, semua harus bersifat rasional. Saya katakan, siapa yang hanya hendak mengandalkan rasionya dan tidak mengandalkan kalbunya, maka dia telah mereduksi kemanusiaannya. Orang yang ingin memahami segala sesuatu dengan rasionya, itu persis seseorang yang ingin menikmati musik dengan matanya atau persis seseorang yang ingin berjalan dengan kepalanya.
Ada hal-hal dalam kehidupan kita ini yang baru dapat dipahami hanya dengan melalui kalbu kita, melalui siraman cahaya Ilahi. Nah, itu diperoleh melalui pembersihan hati ini, bukan diperoleh melalui korekan kuping dan bukan pula diperoleh dengan basuhan mata. Oleh karena itu, hati bisa menjadi wadah dan bisa juga menjadi alat. Ada orang yang hatinya hanya bagaikan kolam diisi dengan pengetahuan dari luar dan ada juga orang yang hatinya seperti sumur.
Di samping sebagai wadah, juga sumur itu adalah sumber datangnya air dari dalam, di mana air yang bersumber dari mata air itu jauh lebih jernih daripada air yang datang dari luar. Dengan demikian, bila ingin mendapatkan fathullah atau al-fath ar-rabbani, jadikanlah kalbu anda sumur. Untuk membuat sumur, gali batu-batunya dan keluarkan tanah-tanahnya sampai anda menemukan mata air. Dalam arti lain, keluarkan kotoran-kotoran yang ada di dalam hati, niscaya akan datang kepada anda al-futuhat al-Ilahiyah sampai datangnya pengetahuan yang tidak anda usahakan tetapi langsung datang dari Allah Swt. Wallahu A’lam bi ash-Shawab .
BY. Prof. Quraish Shihab
http://www.spiritualsharing.net/read/detail/326/menggapai-cahaya-cahaya-ilahi
Ada perbedaan antara siraman rohani dan uraian ilmiah. Uraian ilmiah itu arahnya ke akal kita serta baru dianggap baik dan sukses kalau ada sesuatu yang baru diterima, berbeda dengan siraman rohani. Siraman rohani itu tertuju ke kalbu kita, yang bisa saja didengar berulang-ulang karena belum mantap di hati sebelumnya, sehingga pengulangan itu akan memantapkan hatinya, apalagi kalau hati itu terbuka.
Itulah salah satu perbedaan antara uraian ilmiah dan uraian yang bersifat siraman rohani, karena memang ilmu itu berbeda dengan iman. Ilmu itu titik tolaknya akal, sedangkan iman itu titik tolaknya kalbu; Iman itu menyesuaikan seseorang dengan jati dirinya, sedangkan ilmu itu menyesuaikan seseorang dengan lingkungannya; Ilmu itu mempercepat seseorang sampai ke tujuan, sedangkan iman itu menentukan arah yang dituju seseorang; Iman itu revolusi internal, sedangkan ilmu itu revolusi eksternal; Iman itu memelihara seseorang dari petaka ukhrawi, sedangkan ilmu itu memelihara seseorang dari petaka duniawi; Iman itu diibaratkan dengan air bah yang suaranya sangat germuruh tetapi selalu menenangkan pemiliknya, sedangkan ilmu itu diibaratkan dengan air telaga yang jernih tetapi tidak jarang mengeruhkan hati pemiliknya.
Dalam tulisan yang singkat ini, saya ingin menguraikan tentang Fathullah. “Fath” itu terambil dari kata fataha yang artinya membuka. Sesuatu yang terbuka tadinya tertutup, tidak dibuka kalau dia sudah terbuka, kecuali kalbu. Bisa saja kalbu itu sudah terbuka tetapi masih harus dibuka lagi, dalam arti dilebarkan dan dilebarkan lagi, hingga makin banyak cahaya Ilahi yang ditampung. Ketika kita berkata fathullah, maka yang membuka itu adalah Allah. Hati ini dalam bahasa al-Quran biasa dilukiskan dengan kata nafs, biasa dilukiskan dengan kata qalbu, dan biasa juga dilukiskan dengan kata fu’ad.
Nafs adalah sisi dalam manusia, sedangkan qalbu mempunyai tiga tempat, yaitu: pertama, mengandung segala sesuatu yang disadari manusia dan dia tidak segan orang lain tahu isinya; kedua, segala sesuatu yang disadari manusia tetapi dia enggan diketahui orang lain. Itulah yang dirahasiakan; dan ketiga, sesuatu yang pernah diketahui oleh manusia tetapi sudah dilupakan, sehingga dia telah berada di bawah sadar manusia. Fu’ad adalah apa yang disadari.
Allah berfirman, “intajhar bil qaul fainnahu ya’lamu as-sirra wa akhfa”. Kalau engkau berucap dengan ucapan yang jelas, maka Allah mengetahui itu dan mengetahui yang rahasia, mengetahui juga yang lebih rahasia dari rahasia (kalbu).
Ada juga yang dinamakan al-futuhat al-Ilahiyah dan al fath ar-rabbani, selain istilah fathulllah. “Fath” bisa digunakan untuk terbukanya kalbu dalam menerima pengetahuan. Pengetahuan terbagi dua, yaitu ada yang diusahakan manusia, yang diisyaratkan dengan ‘allama bil qalam, dan ada yang tidak diusahakan manusia, yang diisyaratkan oleh ‘allama al-insana ma lam ya’lam. Yang terakhir ini puncaknya adalah wahyu dan tingkat yang paling rendah adalah mimpi. Mimpi ada yang merupakan sesuatu yang dipikirkan sebelum tidur dan ada yang merupakan sesuatu yang dialami sewaktu tidur, kemudian melahirkan mimpi, seperti orang yang mimpi tercekik, boleh jadi ada bantal di lehernya. Ada juga mimpi yang bersumber dari Allah Swt, itulah mimpi orang-orang shaleh dan mimpi yang dialami oleh para Nabi, seperti yang dialami Nabi Yusuf As. dan Nabi Ibrahim As. Mimpi ini menjadi salah satu bentuk dari al fath ar-rabbani, terbukanya apa yang tersingkap.
Semua yang bersumber dari Allah Swt. adalah cahaya Ilahi. Cahaya Tuhan itu wahyu Tuhan yang bisa dilukiskan seperti sinar matahari, bukan saat teriknya matahari tetapi saat naiknya matahari sepenggalan. Itulah waktu adh-dhuha. Sinar ini tidak membeda-bedakan objeknya. Siapapun yang bersedia keluar, dia akan mendapatkan sinar itu. Siapapun yang membuka hatinya, niscaya Allah akan mencurahkan cahaya ke dalam hatinya. Tetapi ingat, sinar hanya menembus objek yang transparan. Sinar tidak menembus tembok ini. Tetapi, sinar itu bisa memantul. Bisa saja saya menyampaikan informasi yang tidak mau anda terima, tetapi justru diterima dan dimanfaatkan oleh orang lain. Sinar Ilahi persis seperti itu, tidak membeda-bedakan. Dia akan menjadi al-fath ar-rabbani atau terbukanya hati yang hanya akan dilakukan oleh Allah, apabila hati ini merupakan sebuah tempat yang transparan.
Semua anugerah Allah yang berupa kebajikan itu tidak akan terlaksana kecuali setelah melalui tiga fase, yaitu datang dari Allah Swt, datang dari manusia, dan datang lagi dari Allah. Saya akan berikan contoh, bagaimana al-fath ar-rabbani atau terbukanya hati itu melangkah. Langkah yang pertama adalah memperoleh taubat. Taubat itu adalah stasiun pertama menuju Allah Swt. Taubat tidak bisa terlaksana kecuali kalau Allah terlebih dulu membuka langkah itu. Baca sewaktub Adam As. berdosa, Allah melangkah lebih dulu dengan memberikan kalimat-kalimat kepada Adam As, “fatalaqqa adamu min rabbihi kalimat”. Begitu dia menerima ayat-ayat itu, datang langkah kedua dari Adam dengan membaca doa, “rabbana dzalamna anfusana fain lam taghfirlana wa tarhamna lanakunanna min al-khasirin”. Setelah itu, baru datang pengabulan taubat Allah sebagai langkah ketiga.
Allah Swt melalui rasulnya sudah melangkah yang pertama bersama rasulnya. Setelah turun ayat-ayat al-Quran ini, terserah kita apa kita sudah siap membuka hati kita. Kalau siap, yakinlah bahwa al-fath ar-rabbani akan datang kepada kita yang telah membuka hatinya. Adapun yang menutup hatinya jangan harap akan memperoleh fathullah itu (al-fath ar-rabbani). Sinar matahari itu bermacam-macam, ada yang dapat kita lihat dengan pandangan mata kita, tetapi ada juga sinar yang tidak terdeteksi oleh mata kita, ada sinar gamma, ada gelombang-gelombang radio, dan ada juga yang dinamakan dengan sinar ultra violet.
Orang-orang yang terbuka hatinya akan menyadari bahwa boleh jadi ada hal-hal dalam kehidupan dunia ini atau dalam firman-firman Allah yang baru masuk ke dalam hati bukan melalui rasio tetapi melalui kalbu. Ini perlu saya tekankan, apalagi para mahasiswa. Ada orang yang berkata, semua harus bersifat rasional. Saya katakan, siapa yang hanya hendak mengandalkan rasionya dan tidak mengandalkan kalbunya, maka dia telah mereduksi kemanusiaannya. Orang yang ingin memahami segala sesuatu dengan rasionya, itu persis seseorang yang ingin menikmati musik dengan matanya atau persis seseorang yang ingin berjalan dengan kepalanya.
Ada hal-hal dalam kehidupan kita ini yang baru dapat dipahami hanya dengan melalui kalbu kita, melalui siraman cahaya Ilahi. Nah, itu diperoleh melalui pembersihan hati ini, bukan diperoleh melalui korekan kuping dan bukan pula diperoleh dengan basuhan mata. Oleh karena itu, hati bisa menjadi wadah dan bisa juga menjadi alat. Ada orang yang hatinya hanya bagaikan kolam diisi dengan pengetahuan dari luar dan ada juga orang yang hatinya seperti sumur.
Di samping sebagai wadah, juga sumur itu adalah sumber datangnya air dari dalam, di mana air yang bersumber dari mata air itu jauh lebih jernih daripada air yang datang dari luar. Dengan demikian, bila ingin mendapatkan fathullah atau al-fath ar-rabbani, jadikanlah kalbu anda sumur. Untuk membuat sumur, gali batu-batunya dan keluarkan tanah-tanahnya sampai anda menemukan mata air. Dalam arti lain, keluarkan kotoran-kotoran yang ada di dalam hati, niscaya akan datang kepada anda al-futuhat al-Ilahiyah sampai datangnya pengetahuan yang tidak anda usahakan tetapi langsung datang dari Allah Swt. Wallahu A’lam bi ash-Shawab .
BY. Prof. Quraish Shihab
http://www.spiritualsharing.net/read/detail/326/menggapai-cahaya-cahaya-ilahi
Labels:
CAHAYA QALBU
Thanks for reading Secercah Cahaya Allah. Please share...!
0 Comment for "Secercah Cahaya Allah"