Kejelasan-kejelasan semacam inilah yang tidak dapat dipungkiri oleh kaum muslimin manapun, terkhusus para pengikut sekte Wahabisme. Atas dasar itu, Ibnu Taimiyah sendiri dalam kitabnya “at-Tawassul wa al-Wasilah” dengan mengutip pendapat para ulama Ahlusunah seperti; Ibnu Abi ad-Dunya, al-Baihaqi, at-Thabrani, dan sebagainya telah melegalkan tawassul sesuai dengan hadis-hadis yang ada.
————————————————————————
Tawassul / Istighatsah (4); Hadis-Hadis tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah
Pada kesempatan kali ini, kita akan mengkaji beberapa contoh hadis yang menjadi landasan legalitas tawassul/istighotsah. Dalam beberapa kitab standart Ahlusunah wal Jamaah akan dapat kita temui beberapa hadis yang menjelaskan tentang legalitas hal tawassul dan istighotsah terhadap Rasul dan para hamba Allah yang saleh. Sebagai contoh apa yang disebutkan dalam hadis-hadis di bawah ini:
1- Dari Ustman bin Hanif yang mengatakan: Sesungguhnya telah datang seorang lelaki yang tertimpa musibah (penyakit) kepada Nabi SAW. Lantas lelaki itu mengatakan kepada Rasul; “Berdoalah kepada Allah untukku agar Ia menyembuhkanku!”. Lantas Rasul bersabda: “Jika engkau menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan itu lebih baik. Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdoa (untukmu)”. Lantas dia (lelaki tadi) berkata: “Memohonlah kepada-Nya (untukku)!”. Lantas Rasul memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian ia berwudhu dengan baik lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian ia membaca doa tersebut:
Yang dimaksud dengan Abu Jakfar dalam hadis tadi adalah, Abu Jakfar al-Khathmi yang dinyatakan kepercayaannya oleh banyak ahli rijal hadis, termasuk ar-Rifa’i dalam kitab “At-Tawasshul ila Haqiqat at-Tawassul” halaman 158.
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh para Imam hadis terkemuka Ahlusunnah, seperti: Imam at-Turmudzi dalam “Sunan at-Turmudzi” 5/531 hadis ke-3578, Imam an-Nasa’i dalam kitab “as-Sunan al-Kubra” 6/169 hadis ke-10495, Imam Ibnu Majah dalam “Sunan Ibnu Majah” 1/441 hadis ke-1385, Imam Ahmad dalam “Musnad Imam Ahmad” 4/138 hadis ke-16789, al-Hakim an-Naisaburi dalam “Mustadrak as-Shohihain” 1/313, as-Suyuthi dalam kitab “al-Jami’ as-Shoghir” halaman 59, dsb. Sehingga dari situ, Ibnu Taimiyah pun menyatakan kesahihannya pula .
Anehnya, sebagian Wahhaby menyatakan bahwa tawassul/istighotsah semacam itu perbuatan sia-sia dan bertentangan dengan ke-Maha mendengar dan mengetahui-an Allah dengan menyatakan; “Kenapa kita harus berdoa melalui orang dengan alasan ia lebih dekat kedudukannya di sisi Allah dan doanya lebih didengar oleh-Nya? Bukankah Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui atas doa para hamba-Nya?”.
Justru pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab oleh orang Wahhaby yang berpikiran semacam itu adalah; kenapa Rasul menjawab permintaan orang tadi dengan mengatakan “…Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdoa (untukmu)”, apakah Nabi –yang makhluk erkasih Ilahi itu- tidak mengetahui apa yang ada di otak kepala Wahhaby tadi? Apakah mereka lebih pintar dari Nabi?
Dari hadis di atas juga dapat kita ambil pelajaran bahwa, bagaimana Nabi mengajarkan cara bertawassul kepada lelaki terkena bencana tersebut. Dan juga dapat kita ambil pelajaran bahwa, bersumpah atas nama pribadi Nabi (بمحمد) adalah hal yang diperbolehkan (legal menurut syariat Islam), begitu juga dengan kedudukan (jah) Muhammad yang tertera dalam kata “نبي الرحمة”. Jika tidak maka sejak semula Nabi akan menegur lelaki tersebut. Jadi tawassul lelaki tersebut melalui pribadi Muhammad –bukan hanya doa Nabi- yang sekaligus atas nama sebagai Nabi pembawa Rahmat yang merupakan kedudukan (jah) tinggi anugerah Ilahi merupakan hal legal menurut syariat Muhammad bin Abdillah SAW.
2- Diriwayatkan oleh ‘Aufa al-‘Aufa dari Abi Said al-Khudri, bahwa Rasul SAW pernah menyatakan: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) maka hendaknya mengatakan:
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-mu, demi para pemohon kepada-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu, demi langkah kakiku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar untuk berbuat aniaya, sewenang-wenang, ingin pujian dan berbangga diri. Aku keluar untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap ridho-Mu. Maka aku memohon kepada-Mu agar Kau jauhkan diriku dari api neraka. Dan hendaknya Engkau ampuni dosaku, karena tiada dzat yang dapat menghapus dosa melainkan diri-Mu), niscaya Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya kepadanya dan memberinya balasan sebanyak tujuh puluh ribu malaikat”. (Lihat: Kitab “Sunan Ibnu Majah”, 1/256 hadis ke-778 bab berjalan untuk melakukan shalat)
Dari hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa, Rasul SAW mengajarkan kepada kita bagaimana kita berdoa untuk menghapus dosa kita dengan menyebut (bersumpah dengan kata ‘demi’) diri (dzat) para peminta doa dari para manusia saleh dengan ungkapan “بحق السائلين عليك”. Rasulullah di situ tidak menggunakan kata “بحق دعاء السائلين عليك” (demi doa para pemohon kepada-Mu), tetapi langsung menggunakan ‘diri pelaku perbuatan’ (menggunakan isim fa’il). Dengan begitu berarti Rasul SAW membenarkan –bahkan mengajarkan- bagaimana kita bertawassul kepada diri dan kedudukan para manusia saleh kekasih Ilahi (wali Allah) -yang selalu memohon kepada Allah SWT- untuk menjadikan mereka sebagai sarana penghubung antara kita dengan Allah dalam masalah permintaan syafa’at, permohonan ampun, meminta hajat, dsb.
3- Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan; ketika Fathimah binti Asad meninggal dunia, Rasulullah SAW datang dan duduk di sisi kepalanya sembari bersabda: “رحمك الله يا أمي بعد أمي” (Allah merahmatimu wahai ibuku pasca ibu (kandung)-ku). Lantas beliau (Rasul) menyebutkan pujian terhadapnya, lantas mengkafaninya dengan jubah beliau. Kemudian Rasul memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al-Anshari, Umar bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali kuburnya. Lantas mereka menggali liang kuburnya. Sesampai di liang lahat, Rasul sendiri yang menggalinya dan mengeluarkan tanah lahat dengan menggunakan tangan beliau. Setelah selesai (menggali lahat), kemudian Rasul berbaring di situ sembari berkata:
(Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Yang selalu hidup, tiada pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad. Perluaskanlah jalan masuknya, demi Nabi-Mu dan para nabi sebelumku). (Lihat: Kitab al-Wafa’ al-Wafa’)
Hadis di atas jelas sekali bagaimana Rasulullah bersumpah demi kedudukan (jah) yang beliau miliki, yaitu kenabian, dan kenabian para pendahulunya yang telah mati, untuk dijadikan sarana (wasilah) pengampunan kesalahan ibu (angkat) beliau, Fathimah binti Asad. Dan dari hadis di atas juga dapat kita ambil pelajaran, bagaimana Rasul memberi ‘berkah’ (tabarruk) liang lahat itu untuk ibu angkatnya dengan merebahkan diri di sana, plus mengkafani ibunya tersebut dengan jubah beliau.
Sebagai penutup dari contoh hadis-hadis tentang legalitas tawassul dalam syariat Islam, kita akan melihat satu ‘pujian’ yang diberikan salah satu sahabat Rasul kepada diri Rasulullah SAW yang memiliki muatan Tawassul.
4- Diriwayatkan bahwa Sawad bin Qoorib melantunkan pujiannya terhadap Rasul dimana dalam pujian tersebut juga terdapat muatan permohonan tawassul kepada Rasulullah SAW. Ia mengatakan:
و أشهد أن الله لا رب غيره …. * …. و أنك مأمون علي كل غائب
و أنك أدني المرسلين وسيلة …. * …. الي الله يان الأكرمين الأطائب
فمرنا بما يأتيك يا خير مرسل …. * …. و إن كان فيما فيه شيب الذوائب
و كن لي شفيعا يوم لا ذو شفاعة *…. …. سواك بمغن عن سواد بن قارب
(Lihat: Kitab Fathul Bari 7/137, atau kitab at-Tawasshul fi Haqiqat at-Tawassul karya ar-Rifa’i halaman 300)
Kejelasan-kejelasan semacam inilah yang tidak dapat dipungkiri oleh kaum muslimin manapun, terkhusus para pengikut sekte Wahabisme. Atas dasar itu, Ibnu Taimiyah sendiri dalam kitabnya “at-Tawassul wa al-Wasilah” dengan mengutip pendapat para ulama Ahlusunah seperti; Ibnu Abi ad-Dunya, al-Baihaqi, at-Thabrani, dan sebagainya telah melegalkan tawassul sesuai dengan hadis-hadis yang ada. (Lihat: Kitab “at-Tawassul wal Wasilah” karya Ibnu Taimiyah halaman 144-145)
Walaupun beberapa hadis di atas secara tersirat telah membuktikan legalitas tawassul terhadap para nabi terdahulu dan para manusia saleh yang telah mati, namun mungkin masih menjadi pertanyaan di benak kaum muslimin, adakah dalil yang dengan jelas memperbolehkan tawassul/istighotsah terhadap orang yang zahirnya telah mati? Marilah kita ikuti kajian selanjutnya.
Bersambung….
Source : SALAFY INDONESIA
————————————————————————
Tawassul / Istighatsah (4); Hadis-Hadis tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah
Pada kesempatan kali ini, kita akan mengkaji beberapa contoh hadis yang menjadi landasan legalitas tawassul/istighotsah. Dalam beberapa kitab standart Ahlusunah wal Jamaah akan dapat kita temui beberapa hadis yang menjelaskan tentang legalitas hal tawassul dan istighotsah terhadap Rasul dan para hamba Allah yang saleh. Sebagai contoh apa yang disebutkan dalam hadis-hadis di bawah ini:
1- Dari Ustman bin Hanif yang mengatakan: Sesungguhnya telah datang seorang lelaki yang tertimpa musibah (penyakit) kepada Nabi SAW. Lantas lelaki itu mengatakan kepada Rasul; “Berdoalah kepada Allah untukku agar Ia menyembuhkanku!”. Lantas Rasul bersabda: “Jika engkau menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan itu lebih baik. Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdoa (untukmu)”. Lantas dia (lelaki tadi) berkata: “Memohonlah kepada-Nya (untukku)!”. Lantas Rasul memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian ia berwudhu dengan baik lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian ia membaca doa tersebut:
اللهم إني أسئلك و أتوجه إليك بمحمد نبي الرحمة يا محمد إني قد توجهت بك إلي ربي في حاجتي هذه لتُقضي اللهم فشفعه فيٍَ
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku datang menghampiri-Mu, demi Muhammad sebagai Nabi yang penuh rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku telah datang menghampiri-mu untuk menjumpai Tuhan-ku dan meminta hajat-ku ini agar terkabulkan. Ya Allah, maka berilah pertolongan kepadanya untukku)Yang dimaksud dengan Abu Jakfar dalam hadis tadi adalah, Abu Jakfar al-Khathmi yang dinyatakan kepercayaannya oleh banyak ahli rijal hadis, termasuk ar-Rifa’i dalam kitab “At-Tawasshul ila Haqiqat at-Tawassul” halaman 158.
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh para Imam hadis terkemuka Ahlusunnah, seperti: Imam at-Turmudzi dalam “Sunan at-Turmudzi” 5/531 hadis ke-3578, Imam an-Nasa’i dalam kitab “as-Sunan al-Kubra” 6/169 hadis ke-10495, Imam Ibnu Majah dalam “Sunan Ibnu Majah” 1/441 hadis ke-1385, Imam Ahmad dalam “Musnad Imam Ahmad” 4/138 hadis ke-16789, al-Hakim an-Naisaburi dalam “Mustadrak as-Shohihain” 1/313, as-Suyuthi dalam kitab “al-Jami’ as-Shoghir” halaman 59, dsb. Sehingga dari situ, Ibnu Taimiyah pun menyatakan kesahihannya pula .
Anehnya, sebagian Wahhaby menyatakan bahwa tawassul/istighotsah semacam itu perbuatan sia-sia dan bertentangan dengan ke-Maha mendengar dan mengetahui-an Allah dengan menyatakan; “Kenapa kita harus berdoa melalui orang dengan alasan ia lebih dekat kedudukannya di sisi Allah dan doanya lebih didengar oleh-Nya? Bukankah Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui atas doa para hamba-Nya?”.
Justru pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab oleh orang Wahhaby yang berpikiran semacam itu adalah; kenapa Rasul menjawab permintaan orang tadi dengan mengatakan “…Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdoa (untukmu)”, apakah Nabi –yang makhluk erkasih Ilahi itu- tidak mengetahui apa yang ada di otak kepala Wahhaby tadi? Apakah mereka lebih pintar dari Nabi?
Dari hadis di atas juga dapat kita ambil pelajaran bahwa, bagaimana Nabi mengajarkan cara bertawassul kepada lelaki terkena bencana tersebut. Dan juga dapat kita ambil pelajaran bahwa, bersumpah atas nama pribadi Nabi (بمحمد) adalah hal yang diperbolehkan (legal menurut syariat Islam), begitu juga dengan kedudukan (jah) Muhammad yang tertera dalam kata “نبي الرحمة”. Jika tidak maka sejak semula Nabi akan menegur lelaki tersebut. Jadi tawassul lelaki tersebut melalui pribadi Muhammad –bukan hanya doa Nabi- yang sekaligus atas nama sebagai Nabi pembawa Rahmat yang merupakan kedudukan (jah) tinggi anugerah Ilahi merupakan hal legal menurut syariat Muhammad bin Abdillah SAW.
2- Diriwayatkan oleh ‘Aufa al-‘Aufa dari Abi Said al-Khudri, bahwa Rasul SAW pernah menyatakan: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) maka hendaknya mengatakan:
“اللهم إني أسئلك بحق السائلين عليك ”و أسئلك بحق ممشاي هذا فإني لم أخرج أشرا و لا بطرا و لا ريائا و لا سمعة خرجت اتقاء سختك و ابتغاء مرضاتك فأسئلك أن تعيذني من النار و أن تغفرلي ذنوبي إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت”
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-mu, demi para pemohon kepada-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu, demi langkah kakiku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar untuk berbuat aniaya, sewenang-wenang, ingin pujian dan berbangga diri. Aku keluar untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap ridho-Mu. Maka aku memohon kepada-Mu agar Kau jauhkan diriku dari api neraka. Dan hendaknya Engkau ampuni dosaku, karena tiada dzat yang dapat menghapus dosa melainkan diri-Mu), niscaya Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya kepadanya dan memberinya balasan sebanyak tujuh puluh ribu malaikat”. (Lihat: Kitab “Sunan Ibnu Majah”, 1/256 hadis ke-778 bab berjalan untuk melakukan shalat)
Dari hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa, Rasul SAW mengajarkan kepada kita bagaimana kita berdoa untuk menghapus dosa kita dengan menyebut (bersumpah dengan kata ‘demi’) diri (dzat) para peminta doa dari para manusia saleh dengan ungkapan “بحق السائلين عليك”. Rasulullah di situ tidak menggunakan kata “بحق دعاء السائلين عليك” (demi doa para pemohon kepada-Mu), tetapi langsung menggunakan ‘diri pelaku perbuatan’ (menggunakan isim fa’il). Dengan begitu berarti Rasul SAW membenarkan –bahkan mengajarkan- bagaimana kita bertawassul kepada diri dan kedudukan para manusia saleh kekasih Ilahi (wali Allah) -yang selalu memohon kepada Allah SWT- untuk menjadikan mereka sebagai sarana penghubung antara kita dengan Allah dalam masalah permintaan syafa’at, permohonan ampun, meminta hajat, dsb.
3- Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan; ketika Fathimah binti Asad meninggal dunia, Rasulullah SAW datang dan duduk di sisi kepalanya sembari bersabda: “رحمك الله يا أمي بعد أمي” (Allah merahmatimu wahai ibuku pasca ibu (kandung)-ku). Lantas beliau (Rasul) menyebutkan pujian terhadapnya, lantas mengkafaninya dengan jubah beliau. Kemudian Rasul memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al-Anshari, Umar bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali kuburnya. Lantas mereka menggali liang kuburnya. Sesampai di liang lahat, Rasul sendiri yang menggalinya dan mengeluarkan tanah lahat dengan menggunakan tangan beliau. Setelah selesai (menggali lahat), kemudian Rasul berbaring di situ sembari berkata:
“ا
# لله الذي يحي و يميت و هو حي لا يموت اغفر لأمي فاطمة بنت أسد و وسع عليها مدخلها بحق نبيك و الأنبياء الذين من قبلي”
(Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Yang selalu hidup, tiada pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad. Perluaskanlah jalan masuknya, demi Nabi-Mu dan para nabi sebelumku). (Lihat: Kitab al-Wafa’ al-Wafa’)
Hadis di atas jelas sekali bagaimana Rasulullah bersumpah demi kedudukan (jah) yang beliau miliki, yaitu kenabian, dan kenabian para pendahulunya yang telah mati, untuk dijadikan sarana (wasilah) pengampunan kesalahan ibu (angkat) beliau, Fathimah binti Asad. Dan dari hadis di atas juga dapat kita ambil pelajaran, bagaimana Rasul memberi ‘berkah’ (tabarruk) liang lahat itu untuk ibu angkatnya dengan merebahkan diri di sana, plus mengkafani ibunya tersebut dengan jubah beliau.
Sebagai penutup dari contoh hadis-hadis tentang legalitas tawassul dalam syariat Islam, kita akan melihat satu ‘pujian’ yang diberikan salah satu sahabat Rasul kepada diri Rasulullah SAW yang memiliki muatan Tawassul.
4- Diriwayatkan bahwa Sawad bin Qoorib melantunkan pujiannya terhadap Rasul dimana dalam pujian tersebut juga terdapat muatan permohonan tawassul kepada Rasulullah SAW. Ia mengatakan:
و أشهد أن الله لا رب غيره …. * …. و أنك مأمون علي كل غائب
و أنك أدني المرسلين وسيلة …. * …. الي الله يان الأكرمين الأطائب
فمرنا بما يأتيك يا خير مرسل …. * …. و إن كان فيما فيه شيب الذوائب
و كن لي شفيعا يوم لا ذو شفاعة *…. …. سواك بمغن عن سواد بن قارب
(Lihat: Kitab Fathul Bari 7/137, atau kitab at-Tawasshul fi Haqiqat at-Tawassul karya ar-Rifa’i halaman 300)
Kejelasan-kejelasan semacam inilah yang tidak dapat dipungkiri oleh kaum muslimin manapun, terkhusus para pengikut sekte Wahabisme. Atas dasar itu, Ibnu Taimiyah sendiri dalam kitabnya “at-Tawassul wa al-Wasilah” dengan mengutip pendapat para ulama Ahlusunah seperti; Ibnu Abi ad-Dunya, al-Baihaqi, at-Thabrani, dan sebagainya telah melegalkan tawassul sesuai dengan hadis-hadis yang ada. (Lihat: Kitab “at-Tawassul wal Wasilah” karya Ibnu Taimiyah halaman 144-145)
Walaupun beberapa hadis di atas secara tersirat telah membuktikan legalitas tawassul terhadap para nabi terdahulu dan para manusia saleh yang telah mati, namun mungkin masih menjadi pertanyaan di benak kaum muslimin, adakah dalil yang dengan jelas memperbolehkan tawassul/istighotsah terhadap orang yang zahirnya telah mati? Marilah kita ikuti kajian selanjutnya.
Bersambung….
Source : SALAFY INDONESIA
Labels:
Tawassul
Thanks for reading Tawassul / Istighatsah (4); Hadis-Hadis tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah. Please share...!
0 Comment for "Tawassul / Istighatsah (4); Hadis-Hadis tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah"