Posted by
ulilalbab.com on
Tuesday, February 15, 2011
Agama adalah baju alias pakaian. Yang namanya pakaian berarti harus dipakai dengan baik, harus bisa menutupi seluruh aurat. Pakaian sifatnya adalah pelindung diri dari panas dan dingin, tentunya ada tata cara alias tatanan alias ada undang-undang dasar. Jangan pula pakain ini dipaksakan untuk dipakai orang lain, karena jadi tidak akan pas meskipun sama-sama pakaianya, sama-sama ada lengan, kancing, kerah leher, saku dll. Bajuku jelas beda dengan baju anak-anakku, juga beda dengan baju istriku. Yang ada adalah himbauan, bukan paksaan, itupun harus disampaikan dengan cara yang baik dan tepat. Kalau tidak berada di tempat yang pas, anjuran itupun bisa jadi masalah. Kalau ndak percaya, ketika di Supermarket, anda ketemu cewek dengan rok pendek, kaos ketat, pusar kelihatan, dan lalu kasih nasehat, ntar kamu digampar. Lain ceritanya ketika berada di masjid atau tempat ibadah lainnya, nasehat itu akan diterima dengan baik dan lapang dada.
Agama bukan ritual alias tradisi karena kalau hanya ritual alias tradisi, maka selesai ritual selesailah sudah. Karena sifatnya ritual atau juga tradisi, maka ketika ritual tidak dilakukan, ya tidak ada sanksi apa-apa, namanya saja ritual alias upacara. Karena agama adalah ritual, maka jangan salahkah ketika selesai jamaah di masjid atau selesai pengajian lalu keliling kota, bawa motor, pentungan lalu menghancurkan warung-warung remang-remang, tempat diskotik sambil meneriakkan Allahu akbar.
Maksudnya:
Menghindarkan diri dari angkara. Bila akan mendidik putra. Dikemas dalam keindahan syair. Dihias agar tampak indah. Agar tujuan ilmu luhur ini tercapai. Ya Tuhan, kenyataannya, di dunia, agama dianut raja.
Barangsiapa mendapat anugrah Allah. Akan cepat menguasai ilmu. Bangkit merebut daya. Atas kesempurnaan dirinya. Bila demikian, ia dapat disebut orang tua. Artinya sepi dari nafsu kemurkaan (nafs al-muthmainnah; QS 89:27). Memahami apa yang dua dalam satu.
Agama bukan ritual alias tradisi karena kalau hanya ritual alias tradisi, maka selesai ritual selesailah sudah. Karena sifatnya ritual atau juga tradisi, maka ketika ritual tidak dilakukan, ya tidak ada sanksi apa-apa, namanya saja ritual alias upacara. Karena agama adalah ritual, maka jangan salahkah ketika selesai jamaah di masjid atau selesai pengajian lalu keliling kota, bawa motor, pentungan lalu menghancurkan warung-warung remang-remang, tempat diskotik sambil meneriakkan Allahu akbar.
Mingkar-mingkuring angkoro
Akarono karnan mardi siwi
Sinawung resmining kidung
Sinubo sinukarto.
Aduh Gusti pakertining ngelmu
ingkang tumrap ning ngalam dunyo
Agomo ageming aji.
Sopo entuk wahyuning Allah
Gyo dumilah mangulah ngelmu bangkit
Bangkit mikat reh mangukut
Kukutaning jiwanggo.
Yen mangkono keno sinebut wong sepuh
liring sepuh sepi howo, awas roroning atunggil
Hong wilaheng sekareng bhawono langgeng... Sekar mayang...
Hong wilaheng sekareng bhawono langgeng... Sekar kajang...
Hong wilaheng sekareng bhawono
Maksudnya:
Menghindarkan diri dari angkara. Bila akan mendidik putra. Dikemas dalam keindahan syair. Dihias agar tampak indah. Agar tujuan ilmu luhur ini tercapai. Ya Tuhan, kenyataannya, di dunia, agama dianut raja.
Barangsiapa mendapat anugrah Allah. Akan cepat menguasai ilmu. Bangkit merebut daya. Atas kesempurnaan dirinya. Bila demikian, ia dapat disebut orang tua. Artinya sepi dari nafsu kemurkaan (nafs al-muthmainnah; QS 89:27). Memahami apa yang dua dalam satu.
Serat Wedhatama (asal kata dalam bahasa Jawa; Wredhatama) merupakan salah satu karya agung pujangga sekaligus seniman besar pencipta berbagai macam seni tari (beksa) dan tembang. Wayang orang, wayang madya, pencipta jas Langendriyan (sering digunakan sebagai pakaian pengantin adat Jawa/Solo). Beliau adalah enterpreneur sejati yang sangat sukses memakmurkan rakyat pada masanya dengan membangun pabrik bungkil, pabrik gula Tasikmadu dan Colomadu di Jateng (1861-1863) dengan melibatkan masyarakat, serta perkebunan kopi, kina, pala, dan kayu jati di Jatim dan Jateng. Masih banyak lagi, termasuk merintis pembangunan Stasiun Balapan di kota Solo. Beliau juga terkenal gigih dalam melawan penjajahan Belanda. Hebatnya, perlawanan dilakukan cukup melalui tulisan pena, sudah cukup membuat penjajah mundur teratur. Cara inilah menjadi contoh sikap perilaku utama, dalam menjunjung tinggi etika berperang (jihad a la Kejawen); “nglurug tanpa bala” dan “menang tanpa ngasorake”. Kemenangan diraih secara kesatria, tanpa melibatkan banyak orang, tanpa makan korban pertumpahan darah dan nyawa, dan tidak pernah mempermalukan lawan. Begitulah kesatria sejati.
Selain terkenal kepandaiannya akan ilmu pengetahuan, juga terkenal karena beliau tokoh yang amat sakti mandraguna. Beliau terkenal adil, arif dan bijaksana selama dalam kepemimpinannya. Beliau adalah Ngarsa Dalem Ingkang Wicaksana Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Sri Mangkunegoro IV. Raja di keraton Mangkunegaran Solo. Berkat “laku” spiritual yang tinggi beliau diketahui wafat dengan meraih kesempurnaan hidup sejati dalam menghadap Tuhan Yang Mahawisesa; yakni “warangka manjing curiga” atau meraih kamuksan; menghadap Gusti (Tuhan) bersama raganya lenyap tanpa bekas.
Wedhatama merupakan ajaran luhur untuk membangun budi pekerti dan olah spiritual bagi kalangan raja-raja Mataram, tetapi diajarkan pula bagi siapapun yang berkehendak menghayatinya. Wedhatama menjadi salah satu dasar penghayatan bagi siapa saja yang ingin “laku” spiritual dan bersifat universal lintas kepercayaan atau agama apapun. Karena ajaran dalam Wedhatama bukan lah dogma agama yang erat dengan iming-iming surga dan ancaman neraka, melainkan suara hati nurani, yang menjadi “jalan setapak” bagi siapapun yang ingin menggapai kehidupan dengan tingkat spiritual yang tinggi. Mudah diikuti dan dipelajari oleh siapapun, diajarkan dan dituntun step by step secara rinci. Puncak dari “laku” spiritual yang diajarkan serat Wedhatama adalah; menemukan kehidupan yang sejati, lebih memahami diri sendiri, manunggaling kawula-Gusti, dan mendapat anugrah Tuhan untuk melihat rahasia kegaiban.
Selain terkenal kepandaiannya akan ilmu pengetahuan, juga terkenal karena beliau tokoh yang amat sakti mandraguna. Beliau terkenal adil, arif dan bijaksana selama dalam kepemimpinannya. Beliau adalah Ngarsa Dalem Ingkang Wicaksana Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Sri Mangkunegoro IV. Raja di keraton Mangkunegaran Solo. Berkat “laku” spiritual yang tinggi beliau diketahui wafat dengan meraih kesempurnaan hidup sejati dalam menghadap Tuhan Yang Mahawisesa; yakni “warangka manjing curiga” atau meraih kamuksan; menghadap Gusti (Tuhan) bersama raganya lenyap tanpa bekas.
Wedhatama merupakan ajaran luhur untuk membangun budi pekerti dan olah spiritual bagi kalangan raja-raja Mataram, tetapi diajarkan pula bagi siapapun yang berkehendak menghayatinya. Wedhatama menjadi salah satu dasar penghayatan bagi siapa saja yang ingin “laku” spiritual dan bersifat universal lintas kepercayaan atau agama apapun. Karena ajaran dalam Wedhatama bukan lah dogma agama yang erat dengan iming-iming surga dan ancaman neraka, melainkan suara hati nurani, yang menjadi “jalan setapak” bagi siapapun yang ingin menggapai kehidupan dengan tingkat spiritual yang tinggi. Mudah diikuti dan dipelajari oleh siapapun, diajarkan dan dituntun step by step secara rinci. Puncak dari “laku” spiritual yang diajarkan serat Wedhatama adalah; menemukan kehidupan yang sejati, lebih memahami diri sendiri, manunggaling kawula-Gusti, dan mendapat anugrah Tuhan untuk melihat rahasia kegaiban.
PANGKUR
1.Mingkar mingkur ing angkara,
akarana karenan mardi siwi,
sinawung resmining kidung,
sinuba sinukarta,
mrih kertarta pakartining ngelmu luhur,
kang tumrap neng Tanah Jawa,
agama ageming Aji.
Meredam nafsu angkara dalam diri,
Hendak berkenan mendidik putra-putri
Tersirat dalam indahnya tembang,
dihias penuh variasi,
agar menjiwai hakekat ilmu luhur,
yang berlangsung di tanah Jawa (nusantara)
agama sebagai “pakaian” kehidupan.
2.Jinejer neng Wedhatama,
mirih tan kemba kembanging pambudi,
mangka nadyan tuwa pikun,
yen tan mikani rasa,
yekti sepi asepalir sepah samun,
samangsane pakumpulan,
gonyak-ganyuk nglilingsemi.
Disajikan dalam serat Wedhatama,
agar jangan miskin pengetahuan
walaupun sudah tua pikun
jika tidak memahami rasa sejati (batin)
niscaya kosong tiada berguna
bagai ampas, percuma sia-sia,
di dalam setiap pergaulan
sering bertindak ceroboh memalukan.
3.ngGugu karepe priyangga,
nora nganggo paparah lamun angling,
lumuh ingaran balilu,
uger guru aleman,
nanging janma ingkang wus waspadeng semu,
sinemu ing samudhana,
sasadon ingadu manis.
Mengikuti kemauan sendiri,
Bila berkata tanpa dipertimbangkan (asal bunyi),
Namun tak mau dianggap bodoh,
Selalu berharap dipuji-puji.
(sebaliknya) Ciri orang yang sudah memahami (ilmu sejati) tak bisa ditebak
berwatak rendah hati,
selalu berprasangka baik.
4.Sipengung nora nglegewa,
sangsayarda denira cacariwis,
ngandhar-andhar angandhukur,
kandhane nora kaprah,
saya elok alangka longkanganipun,
si wasis waskitha ngalah,
ngalingi marang si pingging.
sementara) Si dungu tidak menyadari,
Bualannya semakin menjadi jadi,
ngelantur bicara yang tidak-tidak,
Bicaranya tidak masuk akal,
makin aneh tak ada jedanya.
Lain halnya, Si Pandai cermat dan mengalah,
Menutupi aib si bodoh.
5.Mangkono ngelmu kang nyata,
sanjatane mung weh reseping ati,
bungah ingaranan cubluk,
sukeng tyas yen den ina,
nora kaya si punggung anggung gumunggung,
ugungan sadina-dina,
aja mangkono wong urip.
Demikianlah ilmu yang nyata,
Senyatanya memberikan ketentraman hati,
Tidak merana dibilang bodoh,
Tetap gembira jika dihina
Tidak seperti si dungu yang selalu sombong,
Ingin dipuji setiap hari.
Janganlah begitu caranya orang hidup.
6.Uripe sapisan rusak,
nora mulur nalare ting saluwir,
kadi ta guwa kang sirung,
sinerang ing maruta,
gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung,
pindha padhane si mudha,
prandene paksa kumaki.
Hidup sekali saja berantakan,
Tidak berkembang, pola pikirnya carut marut.
Umpama goa gelap menyeramkan,
Dihembus angin,
Suaranya gemuruh menggeram,
berdengung
Seperti halnya watak anak muda
masih pula berlagak congkak
7.Kikisane mung sapala,
palayune ngandelken yayah-wibi,
bangkit tur bangsaning luhur,
lah iya ingkang rama,
balik sira sarawungan bae durung,
mring tataning tatakrama,
nggon-anggon agama Suci.
Tujuan hidupnya begitu rendah,
Maunya mengandalkan orang tuanya,
Yang terpandang serta bangsawan
Itu kan ayahmu !
Sedangkan kamu kenal saja belum,
akan hakikatnya tata krama
dalam ajaran yang suci
8.Socaning jiwangganira,
jer katara lamun pocapan pasthi,
lumuh asor kudu unggul,
sumengah sosongaran,
yen mangkono kena ingaran katungkul,
karem ing reh kaprawiran,
nora enak iku kaki.
Cerminan dari dalam jiwa raga mu,
Nampak jelas walau tutur kata halus,
Sifat pantang kalah maunya menang sendiri
Sombong besar mulut
Bila demikian itu, disebut orang yang terlena
Puas diri berlagak tinggi
Tidak baik itu nak !
9.Kekerane ngelmu karang,
kakarangan saking bangsaning gaib,
iku boreh paminipun,
tan umasuk ing jasat,
amung aneng sajabaning daging kulup,
yen kapengkok pancabaya,
ubayane mbalenjani.
Di dalam ilmu yang dikarang-karang (sihir/rekayasa)
Rekayasa dari hal-hal gaib
Itu umpama bedak.
Tidak meresap ke dalam jasad,
Hanya ada di kulitnya saja nak
Bila terbentur marabahaya,
bisanya menghindari.
10.Marma ing sabisa-bisa,
babasane muriha tyas basuki,
puruhita’a kang patut,
lan traping angganira,
ana uga angger ugering kaprabun,
abon-aboning panembah,
kang kanggo ing siyang ratri.
Karena itu sebisa-bisanya,
Upayakan selalu berhati baik
Bergurulah secara tepat
Yang sesuai dengan dirimu
Ada juga peraturan dan pedoman bernegara,
Menjadi syarat bagi yang berbakti,
yang berlaku siang malam.
11.Iku kaki takokena,
mararig para sarjana kang martapi,
mring tapaking tepa tulus,
kawawa nahan hawa,
wruhanira mungguh sanjataning ngelmu,
tan pasthi neng jalma wredha,
tuwin neng jalma taruni.
Itulah nak, tanyakan
Kepada para sarjana yang menimba ilmu
Kepada jejak hidup para suri tauladan yang benar,
dapat menahan hawa nafsu
Pengetahuanmu adalah senyatanya ilmu,
Yang tidak harus dikuasai orang tua,
Bisa juga bagi yang muda atau miskin, nak !
12.Sapa ntuk wahyuning Allah,
gya dumilah mangulah ngelmu bangkit,
bangkit mikat reh mangkutut,
kukutaning jidangga,
yen mangkono kena sinebut wong sepuh,
lire sepuh hawa,
awas roroning atunggil.
Siapapun yang menerima wahyu Tuhan,
Dengan cermat mencerna ilmu tinggi,
Mampu menguasai ilmu kasampurnan,
Kesempurnaan jiwa raga,
Bila demikian pantas disebut “orang tua”.
Arti “orang tua” adalah tidak dikuasai hawa nafsu
Paham akan dwi tunggal (menyatunya sukma dengan Tuhan)
13.Tan samar pamoring suksma,
Sinuksmaya winahya ing asepi,
sinimpen telenging kalbu,
pambukaning warana,
tarlen saking liyep-layaping ngaluyup,
pindha pesating supena,
sumusup ing rasa jati.
Tidak lah samar sukma menyatu
meresap terpatri dalam keheningan semadi,
Diendapkan dalam lubuk hati
menjadi pembuka tabir,
berawal dari keadaan antara sadar dan tiada
Seperti terlepasnya mimpi
Merasuknya rasa yang sejati.
14.Sajatine kang mangkono,
wus kakenan nugrahaning Hyang Widi,
bali alaming ngasuwung,
tan karem karameyan,
ingkang sipat wisesa winisesa wus,
mulih mula-mulanira,
mulane wong anom sami.
Sebenarnya ke-ada-an itu merupakan anugrah Tuhan,
Kembali ke alam yang mengosongkan,
tidak mengumbar nafsu duniawi,
yang bersifat kuasa menguasai. Kembali ke asal muasalmu
Oleh karena itu,
wahai anak muda sekalian…
SINOM
1.Nulada laku utama,
tumrape wong Tanah Jawi,
wong Agung ing Ngeksiganda,
Panembahan Senapati,
kapati amarsudi,
sudaning hawa lan nepsu,
pinesu tapabrata,
ing siyang kalawan ratri,
amamangun karyenak tyasing sasama.
Contohlah perilaku utama,
bagi kalangan orang Jawa (Nusantara),
orang besar dari Ngeksiganda (Mataram),
Panembahan Senopati,
yang tekun, mengurangi hawa nafsu, dengan jalan prihatin (bertapa),
serta siang malam
selalu berkarya membuat hati tenteram bagi sesama (kasih sayang)
2.Samangsane pasamuwan,
mamangun marta martani,
sinambi ing saben mangsa,
kala-kalaning asepi,
lalana teka-teki,
nggayuh geyonganing kayun,
kayungyun eninging tyas,
sanityasa pinrihatin,
puguh panggah cegah dhahar lawan nedra.
Dalam setiap pergaulan,
membangun sikap tahu diri.
Setiap ada kesempatan,
Di saat waktu longgar,
mengembara untuk bertapa,
menggapai cita-cita hati,
hanyut dalam keheningan kalbu.
Senantiasa menjaga hati untuk prihatin (menahan hawa nafsu),
dengan tekad kuat, membatasi makan dan tidur.
3.Saben medra saking wisma,
lalana laladan sepi,
ngisep sepuhing sopana,
mrih pana panraweng kapti,
tistising tyas marsudi,
mardawaning budya tulus,
mesu reh kasudarman,
neng tepining jalanidhi,
sruning brata kataman wahyu jatmika.
Setiap mengembara meninggalkan rumah (istana),
berkelana ke tempat yang sunyi (dari hawa nafsu),
menghirup tingginya ilmu,
agar jelas apa yang menjadi tujuan (hidup) sejati.
Hati bertekad selalu berusaha dengan tekun,
memperdayakan akal budi
menghayati cinta kasih,
ditepinya samudra.
Kuatnya bertapa diterimalah wahyu dyatmika (hidup yang sejati).
4.Wikan wengkuning samodra,
kederan wus den ideri,
kinemot kamot ing driya,
rinegem sagegem dadi,
dumadya angratoni,
nenggih Kangjeng Ratu Kidul,
ndedel nggayuh nggegana,
umara marak maripih,
sor prabawa lan wong Agung Ngeksiganda.
Memahami kekuasaan di dalam samodra seluruhnya sudah dijelajahi,
“kesaktian” melimputi indera
Ibaratnya cukup satu genggaman saja sudah jadi, berhasil berkuasa,
Kangjeng Ratu Kidul,
Naik menggapai awang-awang,
(kemudian) datang menghadap dengan penuh hormat,
kepada Wong Agung Ngeksigondo.
5.Dahat denira aminta,
sinupeket pangkat kanthi,
jroning alam panglimunan,
ing pasaban saben sepi,
sumanggem anyanggemi,
ing karsa kang wus tinamtu,
pamrihe mung aminta,
supangate teka-teki,
nora ketang teken janggut suku jaja.
Memohon dengan sangat lah beliau,
agar diakui sebagai sahabat setia, di dalam alam gaib,
tempatnya berkelana setiap sepi.
Bersedialah menyanggupi,
kehendak yang sudah digariskan.
Harapannya hanyalah meminta
restu dalam bertapa,
Meski dengan susah payah.
6.Prajangjine abipraya,
saturun-turuning wuri,
mangkono trahing ngawirya,
yen amangsah mesu budi,
dumadya gelis dumugi,
iya ing sakarsampun,
wong Agung Ngeksiganda,
nugrahane prapteng mangkin,
trah tumerah darahe padha wibawa.
Perjanjian sangat mulia,
untuk seluruh keturunannya di kelak kemudian hari.
Begitulah seluruh keturunan orang luhur,
bila mau mengasah akal budi
akan cepat berhasil,
apa yang diharapkan orang besar Mataram, anugerahnya hingga kelak dapat mengalir di seluruh darah keturunannya, dapat memiliki wibawa.
7.Ambawani Tanah Jawa,
kang padha jumeneng Aji,
satriya dibya sumbaga,
tan lyan trahing Senapati,
pan iku pantes ugi,
tinelad labetanipun,
ing sakuwasanira,
enake lan jaman mangkin,
sayektine tan bisa ngepleki kuna.
Menguasai tanah Jawa (Nusantara),
yang menjadi raja (pemimpin),
satria sakti tertermasyhur,
tak lain keturunan Senopati,
hal ini pantas pula
sebagai tauladan budi pekertinya,
Sebisamu, terapkan di zaman nanti,
Walaupun tidak bisa
persis sama seperti di masa silam.
8.Lowung kalamun tinimbang,
ngaurip tanpa prihatin,
nanging ta ing jaman mangkya,
pra mudha kang den karemi,
manelad-nulad Nabi,
Nayakengrat Gusti Rasul,
anggung ginawe umbag,
saben seba mampir masjid,
ngajab-ajab mukjijat tibaning drajad.
Mending bila dibanding orang hidup tanpa prihatin,
namun di masa yang akan datang (masa kini),
yang digemari anak muda,
meniru-niru nabi, rasul utusan Tuhan,
yang hanya dipakai untuk menyombongkan diri,
setiap akan bekerja singgah dulu di masjid,
Mengharap mukjizat agar mendapat derajat (naik pangkat).
9.Anggung anggubel sarengat,
saringane tan den wruhi,
dalil dalaning ijemak,
kiyase nora mikani,
katungkul mungkul sami,
bengkrakan mring masjid agung,
kalamun maca kutbah,
lalagone dhandhang gendhis,
swara arum ngumadhang cengkok palaran.
Hanya memahami sariat (kulitnya) saja, sedangkan hakekatnya tidak dikuasai,
Pengetahuan untuk memahami makna dan suri tauladan tidaklah mumpuni
Mereka lupa diri, (tidak sadar)
bersikap berlebih-lebihan di masjid besar,
Bila membaca khotbah
berirama gaya dandanggula (menghanyutkan hati),
suara merdu bergema gaya palaran (lantang bertubi-tubi).
10.Lamun sira paksa nelad,
tuladhaning Kangjeng Nabi,
o ngger kadohan pangangkah,
watake tan betah kaki,
rehne ta sira Jawi,
sathithik bae wus cukup,
aja guru aleman,
nelad kas ngeplegi pekih,
lamun pengkuh pangangkah yekti keramat.
Jika kamu memaksa meniru,
tingkah laku `Kanjeng Nabi,
Oh, nak terlalu naif,
Biasanya tak akan betah nak,
Karena kamu itu orang Jawa,
sedikit saja sudah cukup.
Janganlah sekedar mencari sanjungan,
Mencontoh-contoh mengikuti fiqih,
apabila mampu,
memang ada harapan mendapat rahmat.
11.Nanging yen angupa boga,
rehne ta tinitah langip,
apa ta suwiteng Nata,
tani tanapi agrami,
mangkono mungguh mami,
padune wong dahat cubluk,
durung weruh cara Arab,
Jawane bae tan ngenting,
parandene paripeksa mulang putra.
Tetapi seyogyanya mencari nafkah,
Karena diciptakan sebagai makhluk lemah,
Apakah mau mengabdi kepada raja,
Bercocok tanam atau berdagang,
Begitulah menurut pemahamanku,
Sebagai orang yang sangat bodoh,
Belum paham cara Arab,
Tata cara Jawa saja tidak mengerti,
Namun memaksa diri mendidik anak.
12.Saking duk maksih taruna,
sadhela wus anglakoni,
aberag marang agama,
maguru anggering Kaji,
sawadene tyas mami,
banget wedine ing mbesuk,
pranatan ngakir jaman,
tan tutug kaselak ngabdi,
nora kober sembahyang gya tinimbalan.
Dikarenakan waktu masih muda,
Keburu menempuh belajar pada agama,
Berguru menimba ilmu pada yang haji, maka yang terpendam dalam hatiku, menjadi
sangat takut akan hari kemudian,
Keadaan di akhir zaman,
Tidak tuntas keburu “mengabdi”
Tidak sempat sembahyang terlanjur dipanggil.
13.Marang ingkang asung pangan,
yen kasuwen den dukani,
abubrah bawur tyas ingwang,
lir kiyamat saben hari,
bot Allah apa Gusti,
tambuh-tambuh solah ingsun,
lawas-lawas nggraita,
rehne ta suta piyayi,
yen amriha dadi kaum temah nistha.
Kepada yang memberi makan,
Jika kelamaan dimarahi,
Menjadi kacau balau perasaanku,
Seperti kiyamat saban hari,
Berat “Allah” atau “Gusti”,
Bimbanglah sikapku,
Lama-lama berfikir,
Karena anak turun priyayi,
Bila ingin jadi juru doa (kaum) dapatlah nista,
14.Tuwin ketip suragama,
pan ingsun nora winaris,
angur baya ngantepana,
pranatan wajibing urip,
lampahan angluluri,
aluraning pra luluhur,
kuna kumunanira,
kongsi tumekeng samangkin,
kikisane tan lyan amung ngupa boga.
begitu pula jika aku menjadi pengurus dan juru dakwah agama.
Karena aku bukanlah keturunannya,
Lebih baik memegang teguh
aturan dan kewajiban hidup,
Menjalankan pedoman hidup
warisan leluhur dari zaman dahulu kala hingga kelak kemudian hari.
Ujungnya tidak lain hanyalah mencari nafkah.
15.Bonggan kang tan merlokena,
mungguh ugering ngaurip,
uripe lan tri prakara,
wirya arta tri winasis,
kalamun kongsi sepi,
saka wilangan tetelu,
telas tilasing janma,
aji godhong jati aking,
temah papa papariman ngulandara.
Salahnya sendiri yang tidak mengerti,
Paugeran orang hidup itu demikian seyogyanya,
hidup dengan tiga perkara;
Keluhuran (kekuasaan), harta (kemakmuran), ketiga ilmu pengetahuan.
Bila tak satu pun dapat diraih dari ketiga perkara itu,
habis lah harga diri manusia.
Lebih berharga daun jati kering, akhirnya mendapatlah derita, jadi pengemis dan terlunta
16.Kang wus waspada ing patrap,
mangajut ajat winasis,
wusana wosing jiwangga,
melok tanpa aling aling,
kang ngalingi kelingling,
wenganing rasa tumlawung,
keksi saliring jaman,
anglangut taripa tepi,
jeku aran tapa-tapaking Hyang Suksma.
Yang sudah paham tata caranya,
Menghayati ajaran utama,
Jika berhasil merasuk ke dalam jiwa,
akan melihat tanpa penghalang,
Yang menghalangi tersingkir,
Terbukalah rasa sayup menggema.
Tampaklah seluruh cakrawala,
Sepi tiada bertepi,
Yakni disebut “tapa tapaking Hyang Sukma”.
17.Mangkono janma utama,
tuman tumanen ing sapi,
ing saben rikala mangsa,
mangsah amamasuh budi,
lahire anetepi,
ing reh kasatriyanipun,
susila anor raga,
wignya met tyasing sasami,
yeku aran wong barek-berag agama.
Demikianlah manusia utama,
Gemar terbenam dalam sepi (meredam nafsu),
Di saat-saat tertentu,
Mempertajam dan membersihkan budi,
Bermaksud memenuhi tugasnya sebagai satria,
berbuat susila rendah hati,
pandai menyejukkan hati pada sesama,
itulah sebenarnya yang disebut menghayati agama.
18.Ing jaman mengko pan ora,
arahe para taruni,
yen antuk tuduh kang nyata,
nora pisan den lakoni,
banjur njunjurken kapti,
kakekne arsa winuruk,
ngendelken gurunira,
pandhitaning praja sidik,
tur wus manggon pamucunge mring makripat.
Di zaman kelak tiada demikian,
sikap anak muda bila mendapat petunjuk nyata,
tidak pernah dijalani,
Lalu hanya menuruti kehendaknya,
Kakeknya akan diajari,
dengan mengandalkan gurunya,
yang dianggap pandita negara yang pandai,
serta sudah menguasai makrifat.
POCUNG
1.Ngelmu iku, kalakone kanthi laku,
lekase lawan kas,
tegese kas nyantosani,
setya budya pangekese dur angkara.
Ilmu (hakekat) itu
diraih dengan cara menghayati dalam setiap perbuatan,
dimulai dengan kemauan.
Artinya, kemauan membangun kesejahteraan terhadap sesama,
Teguh membudi daya
Menaklukkan semua angkara
2.Angkara gung, neng angga anggung gumulung,
gogolonganira,
triloka lakere kongsi,
yen den umbar ambabar dadi rubeda.
Nafsu angkara yang besar
ada di dalam diri, kuat menggumpal, menjangkau hingga tiga zaman, jika dibiarkan berkembang akan
berubah menjadi gangguan.
3.Beda lamun, wus sengsem rehing asamun,
semune ngaksama,
sasamane bangsa sisip,
sarwa sareh saking mardi martatama.
Berbeda dengan yang sudah menyukai dan menjiwai,
Watak dan perilaku memaafkan
pada sesama
selalu sabar berusaha
Menyejukkan suasana,
4.Tama limut, durgameng tyas maweh limput,
karem ing karamat,
karana karoban ing sih,
sihing Suksma ngrebda sa-ardi gengira.
Dalam kegelapan.
Angkara dalam hati yang menghalangi,
Larut dalam kesakralan hidup,
Karena temggelam dalam samodra kasih sayang, kasih sayang sukma (sejati) tumbuh berkembang sebesar gunung
5.Yeku patut, tinulad-tulad tinurut,
sapituduhira,
aja kaya jaman mangkin,
keh pra mudha-mudhi dhiri rapal makna.
Itulah yang pantas ditiru, contoh yang patut diikuti
seperti semua nasehatku.
Jangan seperti zaman nanti
Banyak anak muda yang menyombongkan diri dengan hafalan ayat
6.Durung pecus, kasusu kaselak besus,
amaknani rapal,
kaya sayid weton Mesir,
pendhak-pendhak angendhak gunaning janma.
Belum mumpuni sudah berlagak pintar.
Menerangkan ayat
seperti sayid dari Mesir
Setiap saat meremehkan kemampuan orang lain.
7.Kang kadyeku, kalebu wong ngaku-aku,
akale alangka,
elok jamane den mohi,
paksa langkah ngangkah met kawruh ing Mekah.
Yang seperti itu
termasuk orang mengaku-aku
Kemampuan akalnya dangkal
Keindahan ilmu Jawa malah ditolak.
Sebaliknya, memaksa diri mengejar ilmu di Mekah,
8.Nora weruh, rosing rasa kang rinuruh,
lumeketing angga,
anggere padha marsudi,
kana-kene kahanane nora beda.
tidak memahami
hakekat ilmu yang dicari,
sebenarnya ada di dalam diri.
Asal mau berusaha
sana sini (ilmunya) tidak berbeda,
9.Uger lugu, denta mrih pralebdeng kalbu,
Yen kabul kabuka,
ing drajad kajating urip,
kaya kang wus winahyeng sekar srinata.
Asal tidak banyak tingkah,
agar supaya merasuk ke dalam sanubari.
Bila berhasil, terbuka derajat kemuliaan hidup yang sebenarnya.
Seperti yang telah tersirat dalam tembang sinom (di atas).
10.Basa ngelmu, mupakate lan panemu,
pasahe lan tapa,
yen satriya Tanah Jawi,
kuna-kuna kang ginilut tri prakara.
Yang namanya ilmu, dapat berjalan bila sesuai dengan cara pandang kita.
Dapat dicapai dengan usaha yang gigih.
Bagi satria tanah Jawa,
dahulu yang menjadi pegangan adalah tiga perkara yakni;
11. Iya lamun, kelangan nora gegetun,
trima yen kataman,
sak serik sameng dumadi,
tri legawa nalangsa srah ing Bathara.
Ikhlas bila kehilangan tanpa menyesal,
Sabar jika hati disakiti sesama,
Ketiga ; lapang dada sambil
berserah diri pada Tuhan.
12. Bathara gung, inguger graning jajantung,
Jenek Hyang Wisesa,
sana pasenedan suci,
nora kaya simudha mudhar angkara.
Tuhan Maha Agung
diletakkan dalam setiap hela nafas
Menyatu dengan Yang Mahakuasa
Teguh mensucikan diri
Tidak seperti yang muda,
mengumbar nafsu angkara.
13.Nora uwus, kareme manguwus-uwus,
Uwose tan ana,
mung jangjine muring-muring,
kaya buta buteng betah nganiaya.
Tidak henti hentinya
gemar mencaci maki.
Tanpa ada isinya
kerjaannya marah-marah
seperti raksasa; bodoh, mudah marah dan menganiaya sesama.
14.Sakeh luput, ing angga tansah linimput,
linimpet ing sabda,
narka tan ana udani,
lumuh ala hardane ginawe gada.
Semua kesalahan
dalam diri selalu ditutupi,
ditutup dengan kata-kata
mengira tak ada yang mengetahui,
bilangnya enggan berbuat jahat
padahal tabiat buruknya membawa kehancuran.
15.Durung punjul, ing kawruh kaselek jujul,
kaseselan hawa,
cupet kapepetan pamrih,
tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa.
Belum cakap ilmu
Buru-buru ingin dianggap pandai.
Tercemar nafsu selalu merasa kurang,
dan tertutup oleh pamrih,
sulit untuk manunggal pada Yang Mahakuasa.
GAMBUH
1.Samengko ingsun tutur,
sembah catur supaya lumuntur,
dhingin raga cipta jiwa rasa kaki,
ing kono lamun katemu,
tandha nugrahaning Manon.
Kelak saya bertutur,
Empat macam sembah supaya dilestarikan;
Pertama; sembah raga, kedua; sembah cipta, ketiga; sembah jiwa, dan keempat; sembah rasa, anakku !
Di situlah akan bertemu dengan
pertanda anugrah Tuhan.
2.Sembah raga punika,
pakartine wong amagang laku,
susucine akarana saking warih,
kang wus lumrah limang wektu,
wantu wataking wawaton.
Sembah raga adalah
Perbuatan orang yang lagi magang “olah batin”
Menyucikan diri dengan sarana air,
Yang sudah lumrah misalnya lima waktu
Sebagai rasa menghormat waktu
3.Ing nguni-uni durung,
sinarawung wulang kang sinerung,
lagi iki bangsa kas metokken anggit,
mintokken kawignyanipun,
sarengate elok-elok.
Zaman dahulu belum
pernah dikenal ajaran yang penuh tabir,
Baru kali ini ada orang menunjukkan hasil rekaan,
memamerkan ke-bisa-an nya
amalannya aneh aneh
4.Thithik kaya santri Dul,
gajeg kadi santri brahi kidul,
saurute Pacitan pinggir pasisir,
wong-wong kang padha nggugu,
anggere padha nyalemong.
Kadang seperti santri “Dul” (gundul)
Bila tak salah, seperti santri wilayah selatan
Sepanjang Pacitan tepi pantai
Ribuan orang yang percaya.
Asal-asalan dalam berucap
5.Kasusu arsa weruh,
wahyuning Hyang kinira yen karuh,
ngarep-arep urip arsa den kurebi,
tan weruh yen urip iku,
akale kaleru enggon.
Keburu ingin tahu,
cahaya Tuhan dikira dapat ditemukan,
Menanti-nanti besar keinginan (mendapatkan anugrah) namun gelap mata
Orang tidak paham yang demikian itu
Nalarnya sudah salah kaprah
6.Yen ta jaman rumuhun,
tata-titi lumrah tumaruntun,
bangsa srengat tan winor lan aku batin,
dadi nora duwe bingung,
kang padha nembah Hyang Manon.
Bila zaman dahulu,
Tertib teratur runtut harmonis
sariat tidak dicampur aduk dengan olah batin,
jadi tidak membuat bingung
bagi yang menyembah Tuhan
7.Lire sarengat iku,
kena uga ingaranan laku,
dhingin ajeg kapindhone ataberi,
pakolihe putraningsun,
nyenyeger badan mrih kaot.
Sesungguhnya sariat itu
dapat disebut olah, yang bersifat ajeg dan tekun.
Anakku, hasil sariat adalah dapat menyegarkan badan
agar lebih baik,
8.Wong seger badanipun,
otot daging kulit balung sungsum,
tumrah ing rah mamarah antenging ati,
antenging ati nunungku,
angruwat ruweting batos.
badan, otot, daging, kulit dan tulang sungsumnya menjadi segar,
Mempengaruhi darah, membuat tenang di hati.
Ketenangan hati membantu
Membersihkan kekusutan batin
9.Mangkono mungguh ingsun,
ananging ta sarehne asnafun,
beda-beda panduk panduming dumadi,
sayektine nora jumbuh,
tekad kang padha linakon.
badan, otot, daging, kulit dan tulang sungsumnya menjadi segar,
Mempengaruhi darah, membuat tenang di hati.
Ketenangan hati membantu
Membersihkan kekusutan batin
10.Nanging ta paksa tutur,
rehning tuwa tuwase mung catur,
bok lumuntur lantarane ring utami,
sing sapa temen tinemu,
nugraha geming kaprabon.
Namun terpaksa memberi nasehat
Karena sudah tua kewajibannya hanya memberi petuah.
Siapa tahu dapat lestari menjadi pedoman tingkah laku utama.
Barang siapa bersungguh-sungguh akan
mendapatkan anugrah kemuliaan dan kehormatan.
11.Samengko sembah kalbu,
yen lumintu uga dadi laku,
laku agung kang kagungan Narapati,
patitis tetep ing kawruh,
meruhi marang kang momong.
Nantinya, sembah kalbu itu
jika berkesinambungan juga menjadi olah spiritual.
Olah (spiritual) tingkat tinggi yang dimiliki Raja.
Tujuan ajaran ilmu ini;
untuk memahami yang mengasuh diri (guru sejati/pancer)
12.Sucine tanpa banyu,
amung nyunyuda hardaning kalbu,
pambukane tata-titi ngati-ati,
atetep talaten atul,
tuladha marang waspaos.
Bersucinya tidak menggunakan air
Hanya menahan nafsu di hati
Dimulai dari perilaku yang tertata, teliti dan hati-hati (eling dan waspada)
Teguh, sabar dan tekun,
semua menjadi watak dasar,
Teladan bagi sikap waspada.
13.Mring jatining pandulu,
Panduk ing ndon dedalan satuhu,
lamun lugu legutaning reh maligi,
lageyane tumalawung,
wenganing alam kinaot.
Dalam penglihatan yang sejati,
Menggapai sasaran dengan tata cara yang benar.
Biarpun sederhana tatalakunya dibutuhkan konsentrasi
Sampai terbiasa mendengar suara sayup-sayup dalam keheningan
Itulah, terbukanya “alam lain”
14.Yen wis kambah kadyeku,
sarat sareh saniskareng laku,
kalakone saka eneng-ening eling,
ilanging rasa tumlawung,
kono adiling Hyang Manon.
Bila telah mencapai seperti itu,
Saratnya sabar segala tingkah laku.
Berhasilnya dengan cara;
Membangun kesadaran, mengheningkan cipta, pusatkan fikiran kepada energi Tuhan.
Dengan hilangnya rasa sayup-sayup, di situlah keadilan Tuhan terjadi. (jiwa memasuki alam gaib rahasia Tuhan)
15.Gagare ngunggar kayun,
tan kayungyun mring ayuning kayun,
bangsa anggit yen ginigit nora dadi,
marma den awa den emut,
mring pamurunging lalakon.
Gugurnya jika menuruti kemauan jasad (nafsu)
Tidak suka dengan indahnya kehendak rasa sejati,
Jika merasakan keinginan yang tidak-tidak akan gagal.
Maka awas dan ingat lah
dengan yang membuat gagal tujuan
16.Samengko kang tinutur,
sembah katri kang sayekti katur,
mring Hyang Suksma suksmanen sa-ari ari,
arahen dipun kacakup,
sembahing jiwa sutengong.
Nanti yang diajarkan
Sembah ketiga yang sebenarnya diperuntukkan kepada Hyang sukma (jiwa).
Hayatilah dalam kehidupan sehari-hari
Usahakan agar mencapai sembah jiwa ini anakku !
17.Sayekti luwih perlu,
ingaranan pupuntoning laku,
kalakuwan kang tumrap bangsaning batin,
sucine lan awas emut,
mring alame lama amot,
Sungguh lebih penting, yang
disebut sebagai ujung jalan spiritual,
Tingkah laku olah batin, yakni
menjaga kesucian dengan awas dan selalu ingat akan alam nan abadi kelak.
18.Ruktine ngangkah ngukut,
ngiket ngruket triloka kakutut,
jagad agung ginulung lan jagad cilik,
den kandel kumandel kulup,
lan kelaping ngalam kono.
Cara menjaganya dengan menguasai, mengambil, mengikat, merangkul erat tiga jagad yang dikuasai.
Jagad besar tergulung oleh jagad kecil,
Pertebal keyakinanmu anakku !
Akan kilaunya alam tersebut.
19.Keleme mawa limut,
kalamatan jroning ngalam kanyut,
sanjatane iku kanyataan kaki,
sajatine yen tan emut,
sayekti tan bisa amor.
Tenggelamnya rasa melalui suasana “remang berkabut”,
Mendapat firasat dalam alam yang menghanyutkan,
Sebenarnya hal itu kenyataan, anakku !
Sejatinya jika tidak ingat
Sungguh tak bisa “larut”
20.Pamete saka luyut,
sarwa sareh salire panganyut,
lamun yitna kayitnan kang miyatani,
tarlen mung pribadinipun,
kang katon tinonton kono.
Jalan keluarnya dari luyut (batas antara lahir dan batin)
Tetap sabar mengikuti “alam yang menghanyutkan”
Asal hati-hati dan waspada yang menuntaskan tidak lain hanyalah diri pribadinya
yang tampak terlihat di situ
21.Nging aywa salah surup,
kono ana sajatining urub,
yeku urub pangarep uriping budi,
sumirat sirat nerawung,
kadya kartika katonton.
Tetapi jangan salah mengerti
Di situ ada cahaya sejati
Ialah cahaya pembimbing,
energi penghidup akal budi.
Bersinar lebih terang dan cemerlang,
tampak bagaikan bintang
22.Yeku wenganing kalbu,
kabuka ta kang wengku winengku,
wewengkone wus kawengku ing sireki,
nging sira uga winengku,
mring kang pindha kartika byor.
Yaitu membukanya pintu hati
Terbukanya yang kuasa-menguasai (antara cahaya/nur dengan jiwa/roh).
Cahaya itu sudah kau (roh) kuasai
Tapi kau (roh) juga dikuasai
oleh cahaya yang seperti bintang cemerlang.
23.Samengko ingsun tutur,
gantya sembah ingkang kaping catur,
sembah rasa karasa rosing dumadi,
dadine wus tanpa tuduh,
mung kalawan kasing batos.
Nanti ingsun ajarkan,
Beralih sembah yang ke empat.
Sembah rasa terasalah hakekat kehidupan.
Terjadinya sudah tanpa petunjuk,
hanya dengan kesentosaan batin
24.Kalamun durung lugu,
aja pisan wani ngaku ngaku,
antuk siku kang mangkono iku kaki,
kena uga wenang muluk,
kalamun wus padha melok.
Apabila belum bisa membawa diri,
Jangan sekali-kali berani mengaku-aku,
mendapat laknat yang demikian itu anakku !
Artinya, seseorang berhak berkata apabila sudah mengetahui dengan nyata.
25.Meloke ujar iku,
yen wus ilang sumelanging kalbu,
amung kandel kumandel ngandel ing takdir,
iku den awas den emut,
den memet yen arsa momot.
Menghayati pelajaran ini
Bila sudah hilang keragu-raguan hati.
Hanya percaya dengan sungguh-sungguh kepada takdir
itu harap diwaspadai, diingat,
dicermati bila ingin menguasai seluruhnya.
26.Pamoring ujar iku,
kudu santosa ing budi teguh,
sarta sabar tawekal legaweng ati,
trima lila ambeg sadu,
weruh wekasing dumados.
Melaksanakan petuah itu
Harus kokoh budipekertinya
Teguh serta sabar
tawakal lapang dada
Menerima dan ikhlas apa adanya sikapnya dapat dipercaya
Mengerti “sangkan paraning dumadi”.
27.Sabaring tindak tanduk,
tumindake lan sakadaripun,
den ngaksama kasisipaning sasami,
sumimpanga ing laku dur,
ardaning budi kang ngradon.
Segala tindak tanduk
dilakukan ala kadarnya,
memberi maaf atas kesalahan sesama,
menghindari perbuatan tercela,
(dan) watak angkara yang besar.
28.Dadya wruh iya dudu,
yeku minangka pandaming kalbu,
ingkang mbuka ing kijabullah agaib,
sesengkeran kang sinerung,
dumunung telenging batos.
Sehingga tahu baik dan buruk,
Demikian itu sebagai ketetapan hati,
Yang membuka penghalang/tabir antara insan dan Tuhan,
Tersimpan dalam rahasia,
Terletak di dalam batin.
29.Rasaning urip iku,
krasa momor pamoring sawujud,
wujudullah sumrambah ngalam sakalir,
lir manis kalawan madu,
endi arane ing kono.
Rasa hidup itu
dengan cara manunggal dalam satu wujud,
Wujud Tuhan meliputi alam semesta,
bagaikan rasa manis dengan madu. Begitulah ungkapannya.
30.Endi manis ndi madu,
yen wus bisa nuksmeng pasang semu,
pasamohaning hebing kang Maha Suci,
kasikep ing tyas kacakup,
kasat mata lahir batos.
Mana manis mana madu,
apabila sudah bisa menghayati gambaran itu,
Bagaimana pengertian sabda Tuhan,
Hendaklah digenggam di dalam hati, sudah jelas dipahami secara lahir dan batin.
31.Ing batin tan kaliru,
kedhap kilap liniling ing kalbu,
kang minangka colok celaking Hyang Widi,
widadaning budi sadu,
pandak panduking liru nggon.
Dalam batin tak keliru,
Segala cahaya indah dicermati dalam hati,
Yang menjadi petunjuk dalam memahami hakekat Tuhan,
Selamatnya karena budi (bebuden) yang jujur (hilang nafsu),
Agar dapat merasuk beralih “tempat”.
32.ngGonira mamrih tulus,
kalaksitan ing reh kang rinuruh,
nggyanira mrih wiwal warananing galib,
paran ta lamun tan weruh,
sasmita jatining endhog.
Agar usahamu berhasil,
Dapat menemukan apa yang dicari,
upayamu agar dapat melepas penghalang kegaiban,
Apabila kamu tidak paham ; lihatlah tentang bagaimana terjadinya telur.
33.Putih lan kuningipun,
lamun arsa titah teka mangsul,
dene nora mantra-mantra yen ing lahir,
bisaa aliru wujud,
kadadeyane ing kono.
Putih dan kuningnya,
bila akan mewujud (menetas),
wujud datang berganti,
tak disangka-sangka,
bila kelahirannya
dapat berganti wujud,
Kejadiannya di situ !
34.Istingarah tan metu,
lawan istingarah tan lumebu,
dene ing njro wekasane dadi njawi,
rasakena kang tuwajuh,
aja kongsi kabesturon.
Dipastikan tidak keluar,
juga tidak masuk,
Kenyataannya yang di dalam akhirnya menjadi di luar,
Rasakan sunguh-sungguh,
Jangan sampai terlanjur tak bisa memahami.
35.Karana yen kebanjur,
kajantaka tumekeng saumur,
tanpa tuwas yen tiwasa ing dumadi,
dadi wong ina tan weruh,
dheweke den anggep dhayoh.
Sebab apabila sudah terlanjur,
akan tak tenang sepanjang hidup, tidak ada gunanya bila kelak mati,
Menjadi orang hina yang bodoh,
dirinya sendiri malah dianggap tamu.
KINANTI
1.Mangka kanthining tumuwuh,
salami mung awas eling,
eling lukitaning alam,
dadi wiryaning dumadi,
supadi nir ing sangsaya,
yeku pangreksaning urip.
Padahal bekal hidup,
selamanya waspada dan ingat,
Ingat akan pertanda yang ada
di alam ini,
Menjadi kekuatannya asal-usul, supaya lepas dari sengsara.
Begitulah memelihara hidup.
2.Marma den taberi kulup,
angulah lantiping ati,
rina wengi den anedya,
pandak panduking pambudi,
mbengkas kahardaning driya, s
upaya dadya utami.
Maka rajinlah anak-anakku,
Belajar menajamkan hati,
Siang malam berusaha,
merasuk ke dalam sanubari,
melenyapkan nafsu pribadi,
Agar menjadi (manusia) utama.
3.Pangasahe suci samun,
aywa esah ing salami,
samangsa wis kawistara,
lalandhepe mingis-mingis,
pasah wukir reksamuka,
kekes srabedaning budi.
Mengasahnya di alam sepi (semedi),
Jangan berhenti selamanya,
Apabila sudah kelihatan,
tajamnya luar biasa,
mampu mengiris gunung penghalang,
Lenyap semua penghalang budi.
4.Dene awas tegesipun,
weruh warananing urip,
miwah wisesaning tunggal,
kang atunggil rina wengi,
kang mukitan ing sakarsa,
gumelar ngalam sakalir.
Awas itu artinya,
tahu penghalang kehidupan,
serta kekuasaan yang tunggal,
yang bersatu siang malam,
Yang mengabulkan segala kehendak,
terhampar alam semesta.
5.Aywa sembrana ing kalbu,
wawasen wuwusireki,
ing kono yekti karasa,
dudu ucape pribadi,
mar¬ma den sambadeng sedya,
wewesen praptaning uwis.
Hati jangan lengah,
Waspadailah kata-katamu,
Di situ tentu terasa,
bukan ucapan pribadi,
Maka tanggungjawablah, perhatikan semuanya sampai tuntas.
6.Sirnakna semanging kalbu,
den waspada ing pangeksi,
yeku dalaning kasidan,
sinuda saka sathithik,
pamothahing napsu hawa,
linalatih mamrih titih.
Sirnakan keraguan hati,
waspadalah terhadap pandanganmu,
Itulah caranya berhasil,
Kurangilah sedikit demi sedikit godaan hawa nafsu,
Latihlah agar terlatih.
7.Aywa mamanuh nalutuh,
tanpa tuwas tanpa kasil,
kasalibuk ing srabeda,
marma dipun ngati-ati,
urip keh rencananira,
sambekala den kaliling.
Jangan terbiasa berbuat aib,
Tiada guna tiada hasil,
terjerat oleh aral,
Maka berhati-hatilah,
Hidup ini banyak rintangan,
Godaan harus dicermati.
8.Upamane wong lumaku,
marga gawat den liwati,
lamun kurang ing pangarah,
sayekti karendhet ing ri,
apese kasandhung padhas,
babak bundhas anemahi.
Seumpama orang berjalan,
Jalan berbahaya dilalui,
Apabila kurang perhitungan,
Tentulah tertusuk duri,
celakanya terantuk batu,
Akhirnya penuh luka.
9.Lumrah bae yen kadyaku,
atetamba yen wus bucik,
duweya kawruh sabodhag,
yen tan nartati ing kapti,
dadi kawruhe kinarya,
ngupaya kasil lan melik.
Lumrahnya jika seperti itu,
Berobat setelah terluka,
Biarpun punya ilmu segudang,
bila tak sesuai tujuannya,
ilmunya hanya dipakai mencari nafkah dan pamrih.
10.Meloke yen arsa muluk,
muluk ujare lir wali,
wola-wali nora nyata,
anggepe Pandhita luwih,
kaluwihane tan ana,
kabeh tandha-tandha sepi.
Baru kelihatan jika keinginannya muluk-muluk,
Muluk-muluk bicaranya seperti wali,
Berkali-kali tak terbukti,
merasa diri pandita istimewa,
Kelebihannya tak ada,
Semua bukti sepi.
11.Kawruhe mung ana wuwus,
wuwuse gumaib gaib,
kasliring thathit tan kena,
mancereng alise gathik,
apa Pandhita antiga,
kang mangkono iku kaki.
Ilmunya sebatas mulut,
Kata-katanya di gaib-gaibkan,
Dibantah sedikit saja tidak mau, mata membelalak alisnya menjadi satu,
Apakah yang seperti itu pandita palsu,..anakku ?
12.Mangka ta kang aran laku,
lakune ngelmu sajati,
tan dahwen pati openan,
lan panasten nora jail,
tan njurungi ing kahardan,
amung eneng mamrih ening.
Padahal yang disebut “laku”,
sarat menjalankan ilmu sejati tidak suka omong kosong dan tidak suka memanfaatkan hal-hal sepele yang bukan haknya,
Tidak iri hati dan jail,
Tidak melampiaskan hawa nafsu. Sebaliknya, bersikap tenang agar menggapai keheningan jiwa.
13. Kaonanging budi luhung,
bangkit ajur ajer kaki,
yen mangkono bakal cikal,
thukul wijining utami,
nadyan bener kawruhira,
yen ana kang nyulayani.
Luhurnya budipekerti,
pandai beradaptasi, anakku !
Demikian itulah awal mula,
tumbuhnya benih keutamaan,
Walaupun benar ilmumu,
bila ada yang mempersoalkan..
14.Tur kang nyulayani iku,
wus wruh yen kawruhe nempil,
nanging lahire angalah,
katingala angemohi,
mung ngenaki tyasing liyan,
aywa esak aywa serik.
Walau orang yang mempersoalkan itu, sudah diketahui ilmunya dangkal,
tetapi secara lahir kita mengalah,
berkesanlah persuasif,
sekedar menggembirakan hati orang lain.
Jangan sakit hati dan dendam.
15.Yeku ilapating wahyu,
yen yuwana ing salami,
marga wimbuhing nugraha,
saking heb kang Maha Suci,
cinancang pucuking cipta,
nora ucul-ucul kaki.
Begitulah sarat turunnya wahyu,
Bila teguh selamanya,
dapat bertambah anugrahnya,
dari sabda Tuhan Mahasuci,
terikat di ujung cipta,
tiada terlepas-lepas anakku.
16.Mangkono ingkang tinamtu,
tanpa nugrahaning Widi,
marma ta kulup den bisa,
mbusuki ujaring janmi,
pikoleh lahir batinnya,
iyeku budi premati.
Begitulah yang digariskan,
Untuk mendapat anugrah Tuhan.
Maka dari itu anakku,
sebisanya, kalian pura-pura menjadi orang bodoh terhadap perkataan orang lain,
nyaman lahir batinnya,
yakni budi yang baik.
17.Pantes tinulad tinurut,
laladane mrih utami,
utama kembanging mulya,
kamulyan ing jiwa dhiri,
ora yen ta ngeplekana,
lir luluhur nguni-uni.
Pantas menjadi suri tauladan yang ditiru,
Wahana agar hidup mulia,
kemuliaan jiwa raga.
Walaupun tidak persis,
seperti nenek moyang dahulu.
18.Ananging ta kudu-kudu,
sakadarira pribadi,
aywa tmggal tutuladan,
lamun tan mangkono kaki,
yekti tuna ing tumitah,
poma estokena kaki.
Tetapi harus giat berupaya, sesuai kemampuan diri,
Jangan melupakan suri tauladan,
Bila tak berbuat demikian itu anakku,
pasti merugi sebagai manusia.
Maka lakukanlah anakku !
1.Mingkar mingkur ing angkara,
akarana karenan mardi siwi,
sinawung resmining kidung,
sinuba sinukarta,
mrih kertarta pakartining ngelmu luhur,
kang tumrap neng Tanah Jawa,
agama ageming Aji.
Meredam nafsu angkara dalam diri,
Hendak berkenan mendidik putra-putri
Tersirat dalam indahnya tembang,
dihias penuh variasi,
agar menjiwai hakekat ilmu luhur,
yang berlangsung di tanah Jawa (nusantara)
agama sebagai “pakaian” kehidupan.
2.Jinejer neng Wedhatama,
mirih tan kemba kembanging pambudi,
mangka nadyan tuwa pikun,
yen tan mikani rasa,
yekti sepi asepalir sepah samun,
samangsane pakumpulan,
gonyak-ganyuk nglilingsemi.
Disajikan dalam serat Wedhatama,
agar jangan miskin pengetahuan
walaupun sudah tua pikun
jika tidak memahami rasa sejati (batin)
niscaya kosong tiada berguna
bagai ampas, percuma sia-sia,
di dalam setiap pergaulan
sering bertindak ceroboh memalukan.
3.ngGugu karepe priyangga,
nora nganggo paparah lamun angling,
lumuh ingaran balilu,
uger guru aleman,
nanging janma ingkang wus waspadeng semu,
sinemu ing samudhana,
sasadon ingadu manis.
Mengikuti kemauan sendiri,
Bila berkata tanpa dipertimbangkan (asal bunyi),
Namun tak mau dianggap bodoh,
Selalu berharap dipuji-puji.
(sebaliknya) Ciri orang yang sudah memahami (ilmu sejati) tak bisa ditebak
berwatak rendah hati,
selalu berprasangka baik.
4.Sipengung nora nglegewa,
sangsayarda denira cacariwis,
ngandhar-andhar angandhukur,
kandhane nora kaprah,
saya elok alangka longkanganipun,
si wasis waskitha ngalah,
ngalingi marang si pingging.
sementara) Si dungu tidak menyadari,
Bualannya semakin menjadi jadi,
ngelantur bicara yang tidak-tidak,
Bicaranya tidak masuk akal,
makin aneh tak ada jedanya.
Lain halnya, Si Pandai cermat dan mengalah,
Menutupi aib si bodoh.
5.Mangkono ngelmu kang nyata,
sanjatane mung weh reseping ati,
bungah ingaranan cubluk,
sukeng tyas yen den ina,
nora kaya si punggung anggung gumunggung,
ugungan sadina-dina,
aja mangkono wong urip.
Demikianlah ilmu yang nyata,
Senyatanya memberikan ketentraman hati,
Tidak merana dibilang bodoh,
Tetap gembira jika dihina
Tidak seperti si dungu yang selalu sombong,
Ingin dipuji setiap hari.
Janganlah begitu caranya orang hidup.
6.Uripe sapisan rusak,
nora mulur nalare ting saluwir,
kadi ta guwa kang sirung,
sinerang ing maruta,
gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung,
pindha padhane si mudha,
prandene paksa kumaki.
Hidup sekali saja berantakan,
Tidak berkembang, pola pikirnya carut marut.
Umpama goa gelap menyeramkan,
Dihembus angin,
Suaranya gemuruh menggeram,
berdengung
Seperti halnya watak anak muda
masih pula berlagak congkak
7.Kikisane mung sapala,
palayune ngandelken yayah-wibi,
bangkit tur bangsaning luhur,
lah iya ingkang rama,
balik sira sarawungan bae durung,
mring tataning tatakrama,
nggon-anggon agama Suci.
Tujuan hidupnya begitu rendah,
Maunya mengandalkan orang tuanya,
Yang terpandang serta bangsawan
Itu kan ayahmu !
Sedangkan kamu kenal saja belum,
akan hakikatnya tata krama
dalam ajaran yang suci
8.Socaning jiwangganira,
jer katara lamun pocapan pasthi,
lumuh asor kudu unggul,
sumengah sosongaran,
yen mangkono kena ingaran katungkul,
karem ing reh kaprawiran,
nora enak iku kaki.
Cerminan dari dalam jiwa raga mu,
Nampak jelas walau tutur kata halus,
Sifat pantang kalah maunya menang sendiri
Sombong besar mulut
Bila demikian itu, disebut orang yang terlena
Puas diri berlagak tinggi
Tidak baik itu nak !
9.Kekerane ngelmu karang,
kakarangan saking bangsaning gaib,
iku boreh paminipun,
tan umasuk ing jasat,
amung aneng sajabaning daging kulup,
yen kapengkok pancabaya,
ubayane mbalenjani.
Di dalam ilmu yang dikarang-karang (sihir/rekayasa)
Rekayasa dari hal-hal gaib
Itu umpama bedak.
Tidak meresap ke dalam jasad,
Hanya ada di kulitnya saja nak
Bila terbentur marabahaya,
bisanya menghindari.
10.Marma ing sabisa-bisa,
babasane muriha tyas basuki,
puruhita’a kang patut,
lan traping angganira,
ana uga angger ugering kaprabun,
abon-aboning panembah,
kang kanggo ing siyang ratri.
Karena itu sebisa-bisanya,
Upayakan selalu berhati baik
Bergurulah secara tepat
Yang sesuai dengan dirimu
Ada juga peraturan dan pedoman bernegara,
Menjadi syarat bagi yang berbakti,
yang berlaku siang malam.
11.Iku kaki takokena,
mararig para sarjana kang martapi,
mring tapaking tepa tulus,
kawawa nahan hawa,
wruhanira mungguh sanjataning ngelmu,
tan pasthi neng jalma wredha,
tuwin neng jalma taruni.
Itulah nak, tanyakan
Kepada para sarjana yang menimba ilmu
Kepada jejak hidup para suri tauladan yang benar,
dapat menahan hawa nafsu
Pengetahuanmu adalah senyatanya ilmu,
Yang tidak harus dikuasai orang tua,
Bisa juga bagi yang muda atau miskin, nak !
12.Sapa ntuk wahyuning Allah,
gya dumilah mangulah ngelmu bangkit,
bangkit mikat reh mangkutut,
kukutaning jidangga,
yen mangkono kena sinebut wong sepuh,
lire sepuh hawa,
awas roroning atunggil.
Siapapun yang menerima wahyu Tuhan,
Dengan cermat mencerna ilmu tinggi,
Mampu menguasai ilmu kasampurnan,
Kesempurnaan jiwa raga,
Bila demikian pantas disebut “orang tua”.
Arti “orang tua” adalah tidak dikuasai hawa nafsu
Paham akan dwi tunggal (menyatunya sukma dengan Tuhan)
13.Tan samar pamoring suksma,
Sinuksmaya winahya ing asepi,
sinimpen telenging kalbu,
pambukaning warana,
tarlen saking liyep-layaping ngaluyup,
pindha pesating supena,
sumusup ing rasa jati.
Tidak lah samar sukma menyatu
meresap terpatri dalam keheningan semadi,
Diendapkan dalam lubuk hati
menjadi pembuka tabir,
berawal dari keadaan antara sadar dan tiada
Seperti terlepasnya mimpi
Merasuknya rasa yang sejati.
14.Sajatine kang mangkono,
wus kakenan nugrahaning Hyang Widi,
bali alaming ngasuwung,
tan karem karameyan,
ingkang sipat wisesa winisesa wus,
mulih mula-mulanira,
mulane wong anom sami.
Sebenarnya ke-ada-an itu merupakan anugrah Tuhan,
Kembali ke alam yang mengosongkan,
tidak mengumbar nafsu duniawi,
yang bersifat kuasa menguasai. Kembali ke asal muasalmu
Oleh karena itu,
wahai anak muda sekalian…
SINOM
1.Nulada laku utama,
tumrape wong Tanah Jawi,
wong Agung ing Ngeksiganda,
Panembahan Senapati,
kapati amarsudi,
sudaning hawa lan nepsu,
pinesu tapabrata,
ing siyang kalawan ratri,
amamangun karyenak tyasing sasama.
Contohlah perilaku utama,
bagi kalangan orang Jawa (Nusantara),
orang besar dari Ngeksiganda (Mataram),
Panembahan Senopati,
yang tekun, mengurangi hawa nafsu, dengan jalan prihatin (bertapa),
serta siang malam
selalu berkarya membuat hati tenteram bagi sesama (kasih sayang)
2.Samangsane pasamuwan,
mamangun marta martani,
sinambi ing saben mangsa,
kala-kalaning asepi,
lalana teka-teki,
nggayuh geyonganing kayun,
kayungyun eninging tyas,
sanityasa pinrihatin,
puguh panggah cegah dhahar lawan nedra.
Dalam setiap pergaulan,
membangun sikap tahu diri.
Setiap ada kesempatan,
Di saat waktu longgar,
mengembara untuk bertapa,
menggapai cita-cita hati,
hanyut dalam keheningan kalbu.
Senantiasa menjaga hati untuk prihatin (menahan hawa nafsu),
dengan tekad kuat, membatasi makan dan tidur.
3.Saben medra saking wisma,
lalana laladan sepi,
ngisep sepuhing sopana,
mrih pana panraweng kapti,
tistising tyas marsudi,
mardawaning budya tulus,
mesu reh kasudarman,
neng tepining jalanidhi,
sruning brata kataman wahyu jatmika.
Setiap mengembara meninggalkan rumah (istana),
berkelana ke tempat yang sunyi (dari hawa nafsu),
menghirup tingginya ilmu,
agar jelas apa yang menjadi tujuan (hidup) sejati.
Hati bertekad selalu berusaha dengan tekun,
memperdayakan akal budi
menghayati cinta kasih,
ditepinya samudra.
Kuatnya bertapa diterimalah wahyu dyatmika (hidup yang sejati).
4.Wikan wengkuning samodra,
kederan wus den ideri,
kinemot kamot ing driya,
rinegem sagegem dadi,
dumadya angratoni,
nenggih Kangjeng Ratu Kidul,
ndedel nggayuh nggegana,
umara marak maripih,
sor prabawa lan wong Agung Ngeksiganda.
Memahami kekuasaan di dalam samodra seluruhnya sudah dijelajahi,
“kesaktian” melimputi indera
Ibaratnya cukup satu genggaman saja sudah jadi, berhasil berkuasa,
Kangjeng Ratu Kidul,
Naik menggapai awang-awang,
(kemudian) datang menghadap dengan penuh hormat,
kepada Wong Agung Ngeksigondo.
5.Dahat denira aminta,
sinupeket pangkat kanthi,
jroning alam panglimunan,
ing pasaban saben sepi,
sumanggem anyanggemi,
ing karsa kang wus tinamtu,
pamrihe mung aminta,
supangate teka-teki,
nora ketang teken janggut suku jaja.
Memohon dengan sangat lah beliau,
agar diakui sebagai sahabat setia, di dalam alam gaib,
tempatnya berkelana setiap sepi.
Bersedialah menyanggupi,
kehendak yang sudah digariskan.
Harapannya hanyalah meminta
restu dalam bertapa,
Meski dengan susah payah.
6.Prajangjine abipraya,
saturun-turuning wuri,
mangkono trahing ngawirya,
yen amangsah mesu budi,
dumadya gelis dumugi,
iya ing sakarsampun,
wong Agung Ngeksiganda,
nugrahane prapteng mangkin,
trah tumerah darahe padha wibawa.
Perjanjian sangat mulia,
untuk seluruh keturunannya di kelak kemudian hari.
Begitulah seluruh keturunan orang luhur,
bila mau mengasah akal budi
akan cepat berhasil,
apa yang diharapkan orang besar Mataram, anugerahnya hingga kelak dapat mengalir di seluruh darah keturunannya, dapat memiliki wibawa.
7.Ambawani Tanah Jawa,
kang padha jumeneng Aji,
satriya dibya sumbaga,
tan lyan trahing Senapati,
pan iku pantes ugi,
tinelad labetanipun,
ing sakuwasanira,
enake lan jaman mangkin,
sayektine tan bisa ngepleki kuna.
Menguasai tanah Jawa (Nusantara),
yang menjadi raja (pemimpin),
satria sakti tertermasyhur,
tak lain keturunan Senopati,
hal ini pantas pula
sebagai tauladan budi pekertinya,
Sebisamu, terapkan di zaman nanti,
Walaupun tidak bisa
persis sama seperti di masa silam.
8.Lowung kalamun tinimbang,
ngaurip tanpa prihatin,
nanging ta ing jaman mangkya,
pra mudha kang den karemi,
manelad-nulad Nabi,
Nayakengrat Gusti Rasul,
anggung ginawe umbag,
saben seba mampir masjid,
ngajab-ajab mukjijat tibaning drajad.
Mending bila dibanding orang hidup tanpa prihatin,
namun di masa yang akan datang (masa kini),
yang digemari anak muda,
meniru-niru nabi, rasul utusan Tuhan,
yang hanya dipakai untuk menyombongkan diri,
setiap akan bekerja singgah dulu di masjid,
Mengharap mukjizat agar mendapat derajat (naik pangkat).
9.Anggung anggubel sarengat,
saringane tan den wruhi,
dalil dalaning ijemak,
kiyase nora mikani,
katungkul mungkul sami,
bengkrakan mring masjid agung,
kalamun maca kutbah,
lalagone dhandhang gendhis,
swara arum ngumadhang cengkok palaran.
Hanya memahami sariat (kulitnya) saja, sedangkan hakekatnya tidak dikuasai,
Pengetahuan untuk memahami makna dan suri tauladan tidaklah mumpuni
Mereka lupa diri, (tidak sadar)
bersikap berlebih-lebihan di masjid besar,
Bila membaca khotbah
berirama gaya dandanggula (menghanyutkan hati),
suara merdu bergema gaya palaran (lantang bertubi-tubi).
10.Lamun sira paksa nelad,
tuladhaning Kangjeng Nabi,
o ngger kadohan pangangkah,
watake tan betah kaki,
rehne ta sira Jawi,
sathithik bae wus cukup,
aja guru aleman,
nelad kas ngeplegi pekih,
lamun pengkuh pangangkah yekti keramat.
Jika kamu memaksa meniru,
tingkah laku `Kanjeng Nabi,
Oh, nak terlalu naif,
Biasanya tak akan betah nak,
Karena kamu itu orang Jawa,
sedikit saja sudah cukup.
Janganlah sekedar mencari sanjungan,
Mencontoh-contoh mengikuti fiqih,
apabila mampu,
memang ada harapan mendapat rahmat.
11.Nanging yen angupa boga,
rehne ta tinitah langip,
apa ta suwiteng Nata,
tani tanapi agrami,
mangkono mungguh mami,
padune wong dahat cubluk,
durung weruh cara Arab,
Jawane bae tan ngenting,
parandene paripeksa mulang putra.
Tetapi seyogyanya mencari nafkah,
Karena diciptakan sebagai makhluk lemah,
Apakah mau mengabdi kepada raja,
Bercocok tanam atau berdagang,
Begitulah menurut pemahamanku,
Sebagai orang yang sangat bodoh,
Belum paham cara Arab,
Tata cara Jawa saja tidak mengerti,
Namun memaksa diri mendidik anak.
12.Saking duk maksih taruna,
sadhela wus anglakoni,
aberag marang agama,
maguru anggering Kaji,
sawadene tyas mami,
banget wedine ing mbesuk,
pranatan ngakir jaman,
tan tutug kaselak ngabdi,
nora kober sembahyang gya tinimbalan.
Dikarenakan waktu masih muda,
Keburu menempuh belajar pada agama,
Berguru menimba ilmu pada yang haji, maka yang terpendam dalam hatiku, menjadi
sangat takut akan hari kemudian,
Keadaan di akhir zaman,
Tidak tuntas keburu “mengabdi”
Tidak sempat sembahyang terlanjur dipanggil.
13.Marang ingkang asung pangan,
yen kasuwen den dukani,
abubrah bawur tyas ingwang,
lir kiyamat saben hari,
bot Allah apa Gusti,
tambuh-tambuh solah ingsun,
lawas-lawas nggraita,
rehne ta suta piyayi,
yen amriha dadi kaum temah nistha.
Kepada yang memberi makan,
Jika kelamaan dimarahi,
Menjadi kacau balau perasaanku,
Seperti kiyamat saban hari,
Berat “Allah” atau “Gusti”,
Bimbanglah sikapku,
Lama-lama berfikir,
Karena anak turun priyayi,
Bila ingin jadi juru doa (kaum) dapatlah nista,
14.Tuwin ketip suragama,
pan ingsun nora winaris,
angur baya ngantepana,
pranatan wajibing urip,
lampahan angluluri,
aluraning pra luluhur,
kuna kumunanira,
kongsi tumekeng samangkin,
kikisane tan lyan amung ngupa boga.
begitu pula jika aku menjadi pengurus dan juru dakwah agama.
Karena aku bukanlah keturunannya,
Lebih baik memegang teguh
aturan dan kewajiban hidup,
Menjalankan pedoman hidup
warisan leluhur dari zaman dahulu kala hingga kelak kemudian hari.
Ujungnya tidak lain hanyalah mencari nafkah.
15.Bonggan kang tan merlokena,
mungguh ugering ngaurip,
uripe lan tri prakara,
wirya arta tri winasis,
kalamun kongsi sepi,
saka wilangan tetelu,
telas tilasing janma,
aji godhong jati aking,
temah papa papariman ngulandara.
Salahnya sendiri yang tidak mengerti,
Paugeran orang hidup itu demikian seyogyanya,
hidup dengan tiga perkara;
Keluhuran (kekuasaan), harta (kemakmuran), ketiga ilmu pengetahuan.
Bila tak satu pun dapat diraih dari ketiga perkara itu,
habis lah harga diri manusia.
Lebih berharga daun jati kering, akhirnya mendapatlah derita, jadi pengemis dan terlunta
16.Kang wus waspada ing patrap,
mangajut ajat winasis,
wusana wosing jiwangga,
melok tanpa aling aling,
kang ngalingi kelingling,
wenganing rasa tumlawung,
keksi saliring jaman,
anglangut taripa tepi,
jeku aran tapa-tapaking Hyang Suksma.
Yang sudah paham tata caranya,
Menghayati ajaran utama,
Jika berhasil merasuk ke dalam jiwa,
akan melihat tanpa penghalang,
Yang menghalangi tersingkir,
Terbukalah rasa sayup menggema.
Tampaklah seluruh cakrawala,
Sepi tiada bertepi,
Yakni disebut “tapa tapaking Hyang Sukma”.
17.Mangkono janma utama,
tuman tumanen ing sapi,
ing saben rikala mangsa,
mangsah amamasuh budi,
lahire anetepi,
ing reh kasatriyanipun,
susila anor raga,
wignya met tyasing sasami,
yeku aran wong barek-berag agama.
Demikianlah manusia utama,
Gemar terbenam dalam sepi (meredam nafsu),
Di saat-saat tertentu,
Mempertajam dan membersihkan budi,
Bermaksud memenuhi tugasnya sebagai satria,
berbuat susila rendah hati,
pandai menyejukkan hati pada sesama,
itulah sebenarnya yang disebut menghayati agama.
18.Ing jaman mengko pan ora,
arahe para taruni,
yen antuk tuduh kang nyata,
nora pisan den lakoni,
banjur njunjurken kapti,
kakekne arsa winuruk,
ngendelken gurunira,
pandhitaning praja sidik,
tur wus manggon pamucunge mring makripat.
Di zaman kelak tiada demikian,
sikap anak muda bila mendapat petunjuk nyata,
tidak pernah dijalani,
Lalu hanya menuruti kehendaknya,
Kakeknya akan diajari,
dengan mengandalkan gurunya,
yang dianggap pandita negara yang pandai,
serta sudah menguasai makrifat.
POCUNG
1.Ngelmu iku, kalakone kanthi laku,
lekase lawan kas,
tegese kas nyantosani,
setya budya pangekese dur angkara.
Ilmu (hakekat) itu
diraih dengan cara menghayati dalam setiap perbuatan,
dimulai dengan kemauan.
Artinya, kemauan membangun kesejahteraan terhadap sesama,
Teguh membudi daya
Menaklukkan semua angkara
2.Angkara gung, neng angga anggung gumulung,
gogolonganira,
triloka lakere kongsi,
yen den umbar ambabar dadi rubeda.
Nafsu angkara yang besar
ada di dalam diri, kuat menggumpal, menjangkau hingga tiga zaman, jika dibiarkan berkembang akan
berubah menjadi gangguan.
3.Beda lamun, wus sengsem rehing asamun,
semune ngaksama,
sasamane bangsa sisip,
sarwa sareh saking mardi martatama.
Berbeda dengan yang sudah menyukai dan menjiwai,
Watak dan perilaku memaafkan
pada sesama
selalu sabar berusaha
Menyejukkan suasana,
4.Tama limut, durgameng tyas maweh limput,
karem ing karamat,
karana karoban ing sih,
sihing Suksma ngrebda sa-ardi gengira.
Dalam kegelapan.
Angkara dalam hati yang menghalangi,
Larut dalam kesakralan hidup,
Karena temggelam dalam samodra kasih sayang, kasih sayang sukma (sejati) tumbuh berkembang sebesar gunung
5.Yeku patut, tinulad-tulad tinurut,
sapituduhira,
aja kaya jaman mangkin,
keh pra mudha-mudhi dhiri rapal makna.
Itulah yang pantas ditiru, contoh yang patut diikuti
seperti semua nasehatku.
Jangan seperti zaman nanti
Banyak anak muda yang menyombongkan diri dengan hafalan ayat
6.Durung pecus, kasusu kaselak besus,
amaknani rapal,
kaya sayid weton Mesir,
pendhak-pendhak angendhak gunaning janma.
Belum mumpuni sudah berlagak pintar.
Menerangkan ayat
seperti sayid dari Mesir
Setiap saat meremehkan kemampuan orang lain.
7.Kang kadyeku, kalebu wong ngaku-aku,
akale alangka,
elok jamane den mohi,
paksa langkah ngangkah met kawruh ing Mekah.
Yang seperti itu
termasuk orang mengaku-aku
Kemampuan akalnya dangkal
Keindahan ilmu Jawa malah ditolak.
Sebaliknya, memaksa diri mengejar ilmu di Mekah,
8.Nora weruh, rosing rasa kang rinuruh,
lumeketing angga,
anggere padha marsudi,
kana-kene kahanane nora beda.
tidak memahami
hakekat ilmu yang dicari,
sebenarnya ada di dalam diri.
Asal mau berusaha
sana sini (ilmunya) tidak berbeda,
9.Uger lugu, denta mrih pralebdeng kalbu,
Yen kabul kabuka,
ing drajad kajating urip,
kaya kang wus winahyeng sekar srinata.
Asal tidak banyak tingkah,
agar supaya merasuk ke dalam sanubari.
Bila berhasil, terbuka derajat kemuliaan hidup yang sebenarnya.
Seperti yang telah tersirat dalam tembang sinom (di atas).
10.Basa ngelmu, mupakate lan panemu,
pasahe lan tapa,
yen satriya Tanah Jawi,
kuna-kuna kang ginilut tri prakara.
Yang namanya ilmu, dapat berjalan bila sesuai dengan cara pandang kita.
Dapat dicapai dengan usaha yang gigih.
Bagi satria tanah Jawa,
dahulu yang menjadi pegangan adalah tiga perkara yakni;
11. Iya lamun, kelangan nora gegetun,
trima yen kataman,
sak serik sameng dumadi,
tri legawa nalangsa srah ing Bathara.
Ikhlas bila kehilangan tanpa menyesal,
Sabar jika hati disakiti sesama,
Ketiga ; lapang dada sambil
berserah diri pada Tuhan.
12. Bathara gung, inguger graning jajantung,
Jenek Hyang Wisesa,
sana pasenedan suci,
nora kaya simudha mudhar angkara.
Tuhan Maha Agung
diletakkan dalam setiap hela nafas
Menyatu dengan Yang Mahakuasa
Teguh mensucikan diri
Tidak seperti yang muda,
mengumbar nafsu angkara.
13.Nora uwus, kareme manguwus-uwus,
Uwose tan ana,
mung jangjine muring-muring,
kaya buta buteng betah nganiaya.
Tidak henti hentinya
gemar mencaci maki.
Tanpa ada isinya
kerjaannya marah-marah
seperti raksasa; bodoh, mudah marah dan menganiaya sesama.
14.Sakeh luput, ing angga tansah linimput,
linimpet ing sabda,
narka tan ana udani,
lumuh ala hardane ginawe gada.
Semua kesalahan
dalam diri selalu ditutupi,
ditutup dengan kata-kata
mengira tak ada yang mengetahui,
bilangnya enggan berbuat jahat
padahal tabiat buruknya membawa kehancuran.
15.Durung punjul, ing kawruh kaselek jujul,
kaseselan hawa,
cupet kapepetan pamrih,
tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa.
Belum cakap ilmu
Buru-buru ingin dianggap pandai.
Tercemar nafsu selalu merasa kurang,
dan tertutup oleh pamrih,
sulit untuk manunggal pada Yang Mahakuasa.
GAMBUH
1.Samengko ingsun tutur,
sembah catur supaya lumuntur,
dhingin raga cipta jiwa rasa kaki,
ing kono lamun katemu,
tandha nugrahaning Manon.
Kelak saya bertutur,
Empat macam sembah supaya dilestarikan;
Pertama; sembah raga, kedua; sembah cipta, ketiga; sembah jiwa, dan keempat; sembah rasa, anakku !
Di situlah akan bertemu dengan
pertanda anugrah Tuhan.
2.Sembah raga punika,
pakartine wong amagang laku,
susucine akarana saking warih,
kang wus lumrah limang wektu,
wantu wataking wawaton.
Sembah raga adalah
Perbuatan orang yang lagi magang “olah batin”
Menyucikan diri dengan sarana air,
Yang sudah lumrah misalnya lima waktu
Sebagai rasa menghormat waktu
3.Ing nguni-uni durung,
sinarawung wulang kang sinerung,
lagi iki bangsa kas metokken anggit,
mintokken kawignyanipun,
sarengate elok-elok.
Zaman dahulu belum
pernah dikenal ajaran yang penuh tabir,
Baru kali ini ada orang menunjukkan hasil rekaan,
memamerkan ke-bisa-an nya
amalannya aneh aneh
4.Thithik kaya santri Dul,
gajeg kadi santri brahi kidul,
saurute Pacitan pinggir pasisir,
wong-wong kang padha nggugu,
anggere padha nyalemong.
Kadang seperti santri “Dul” (gundul)
Bila tak salah, seperti santri wilayah selatan
Sepanjang Pacitan tepi pantai
Ribuan orang yang percaya.
Asal-asalan dalam berucap
5.Kasusu arsa weruh,
wahyuning Hyang kinira yen karuh,
ngarep-arep urip arsa den kurebi,
tan weruh yen urip iku,
akale kaleru enggon.
Keburu ingin tahu,
cahaya Tuhan dikira dapat ditemukan,
Menanti-nanti besar keinginan (mendapatkan anugrah) namun gelap mata
Orang tidak paham yang demikian itu
Nalarnya sudah salah kaprah
6.Yen ta jaman rumuhun,
tata-titi lumrah tumaruntun,
bangsa srengat tan winor lan aku batin,
dadi nora duwe bingung,
kang padha nembah Hyang Manon.
Bila zaman dahulu,
Tertib teratur runtut harmonis
sariat tidak dicampur aduk dengan olah batin,
jadi tidak membuat bingung
bagi yang menyembah Tuhan
7.Lire sarengat iku,
kena uga ingaranan laku,
dhingin ajeg kapindhone ataberi,
pakolihe putraningsun,
nyenyeger badan mrih kaot.
Sesungguhnya sariat itu
dapat disebut olah, yang bersifat ajeg dan tekun.
Anakku, hasil sariat adalah dapat menyegarkan badan
agar lebih baik,
8.Wong seger badanipun,
otot daging kulit balung sungsum,
tumrah ing rah mamarah antenging ati,
antenging ati nunungku,
angruwat ruweting batos.
badan, otot, daging, kulit dan tulang sungsumnya menjadi segar,
Mempengaruhi darah, membuat tenang di hati.
Ketenangan hati membantu
Membersihkan kekusutan batin
9.Mangkono mungguh ingsun,
ananging ta sarehne asnafun,
beda-beda panduk panduming dumadi,
sayektine nora jumbuh,
tekad kang padha linakon.
badan, otot, daging, kulit dan tulang sungsumnya menjadi segar,
Mempengaruhi darah, membuat tenang di hati.
Ketenangan hati membantu
Membersihkan kekusutan batin
10.Nanging ta paksa tutur,
rehning tuwa tuwase mung catur,
bok lumuntur lantarane ring utami,
sing sapa temen tinemu,
nugraha geming kaprabon.
Namun terpaksa memberi nasehat
Karena sudah tua kewajibannya hanya memberi petuah.
Siapa tahu dapat lestari menjadi pedoman tingkah laku utama.
Barang siapa bersungguh-sungguh akan
mendapatkan anugrah kemuliaan dan kehormatan.
11.Samengko sembah kalbu,
yen lumintu uga dadi laku,
laku agung kang kagungan Narapati,
patitis tetep ing kawruh,
meruhi marang kang momong.
Nantinya, sembah kalbu itu
jika berkesinambungan juga menjadi olah spiritual.
Olah (spiritual) tingkat tinggi yang dimiliki Raja.
Tujuan ajaran ilmu ini;
untuk memahami yang mengasuh diri (guru sejati/pancer)
12.Sucine tanpa banyu,
amung nyunyuda hardaning kalbu,
pambukane tata-titi ngati-ati,
atetep talaten atul,
tuladha marang waspaos.
Bersucinya tidak menggunakan air
Hanya menahan nafsu di hati
Dimulai dari perilaku yang tertata, teliti dan hati-hati (eling dan waspada)
Teguh, sabar dan tekun,
semua menjadi watak dasar,
Teladan bagi sikap waspada.
13.Mring jatining pandulu,
Panduk ing ndon dedalan satuhu,
lamun lugu legutaning reh maligi,
lageyane tumalawung,
wenganing alam kinaot.
Dalam penglihatan yang sejati,
Menggapai sasaran dengan tata cara yang benar.
Biarpun sederhana tatalakunya dibutuhkan konsentrasi
Sampai terbiasa mendengar suara sayup-sayup dalam keheningan
Itulah, terbukanya “alam lain”
14.Yen wis kambah kadyeku,
sarat sareh saniskareng laku,
kalakone saka eneng-ening eling,
ilanging rasa tumlawung,
kono adiling Hyang Manon.
Bila telah mencapai seperti itu,
Saratnya sabar segala tingkah laku.
Berhasilnya dengan cara;
Membangun kesadaran, mengheningkan cipta, pusatkan fikiran kepada energi Tuhan.
Dengan hilangnya rasa sayup-sayup, di situlah keadilan Tuhan terjadi. (jiwa memasuki alam gaib rahasia Tuhan)
15.Gagare ngunggar kayun,
tan kayungyun mring ayuning kayun,
bangsa anggit yen ginigit nora dadi,
marma den awa den emut,
mring pamurunging lalakon.
Gugurnya jika menuruti kemauan jasad (nafsu)
Tidak suka dengan indahnya kehendak rasa sejati,
Jika merasakan keinginan yang tidak-tidak akan gagal.
Maka awas dan ingat lah
dengan yang membuat gagal tujuan
16.Samengko kang tinutur,
sembah katri kang sayekti katur,
mring Hyang Suksma suksmanen sa-ari ari,
arahen dipun kacakup,
sembahing jiwa sutengong.
Nanti yang diajarkan
Sembah ketiga yang sebenarnya diperuntukkan kepada Hyang sukma (jiwa).
Hayatilah dalam kehidupan sehari-hari
Usahakan agar mencapai sembah jiwa ini anakku !
17.Sayekti luwih perlu,
ingaranan pupuntoning laku,
kalakuwan kang tumrap bangsaning batin,
sucine lan awas emut,
mring alame lama amot,
Sungguh lebih penting, yang
disebut sebagai ujung jalan spiritual,
Tingkah laku olah batin, yakni
menjaga kesucian dengan awas dan selalu ingat akan alam nan abadi kelak.
18.Ruktine ngangkah ngukut,
ngiket ngruket triloka kakutut,
jagad agung ginulung lan jagad cilik,
den kandel kumandel kulup,
lan kelaping ngalam kono.
Cara menjaganya dengan menguasai, mengambil, mengikat, merangkul erat tiga jagad yang dikuasai.
Jagad besar tergulung oleh jagad kecil,
Pertebal keyakinanmu anakku !
Akan kilaunya alam tersebut.
19.Keleme mawa limut,
kalamatan jroning ngalam kanyut,
sanjatane iku kanyataan kaki,
sajatine yen tan emut,
sayekti tan bisa amor.
Tenggelamnya rasa melalui suasana “remang berkabut”,
Mendapat firasat dalam alam yang menghanyutkan,
Sebenarnya hal itu kenyataan, anakku !
Sejatinya jika tidak ingat
Sungguh tak bisa “larut”
20.Pamete saka luyut,
sarwa sareh salire panganyut,
lamun yitna kayitnan kang miyatani,
tarlen mung pribadinipun,
kang katon tinonton kono.
Jalan keluarnya dari luyut (batas antara lahir dan batin)
Tetap sabar mengikuti “alam yang menghanyutkan”
Asal hati-hati dan waspada yang menuntaskan tidak lain hanyalah diri pribadinya
yang tampak terlihat di situ
21.Nging aywa salah surup,
kono ana sajatining urub,
yeku urub pangarep uriping budi,
sumirat sirat nerawung,
kadya kartika katonton.
Tetapi jangan salah mengerti
Di situ ada cahaya sejati
Ialah cahaya pembimbing,
energi penghidup akal budi.
Bersinar lebih terang dan cemerlang,
tampak bagaikan bintang
22.Yeku wenganing kalbu,
kabuka ta kang wengku winengku,
wewengkone wus kawengku ing sireki,
nging sira uga winengku,
mring kang pindha kartika byor.
Yaitu membukanya pintu hati
Terbukanya yang kuasa-menguasai (antara cahaya/nur dengan jiwa/roh).
Cahaya itu sudah kau (roh) kuasai
Tapi kau (roh) juga dikuasai
oleh cahaya yang seperti bintang cemerlang.
23.Samengko ingsun tutur,
gantya sembah ingkang kaping catur,
sembah rasa karasa rosing dumadi,
dadine wus tanpa tuduh,
mung kalawan kasing batos.
Nanti ingsun ajarkan,
Beralih sembah yang ke empat.
Sembah rasa terasalah hakekat kehidupan.
Terjadinya sudah tanpa petunjuk,
hanya dengan kesentosaan batin
24.Kalamun durung lugu,
aja pisan wani ngaku ngaku,
antuk siku kang mangkono iku kaki,
kena uga wenang muluk,
kalamun wus padha melok.
Apabila belum bisa membawa diri,
Jangan sekali-kali berani mengaku-aku,
mendapat laknat yang demikian itu anakku !
Artinya, seseorang berhak berkata apabila sudah mengetahui dengan nyata.
25.Meloke ujar iku,
yen wus ilang sumelanging kalbu,
amung kandel kumandel ngandel ing takdir,
iku den awas den emut,
den memet yen arsa momot.
Menghayati pelajaran ini
Bila sudah hilang keragu-raguan hati.
Hanya percaya dengan sungguh-sungguh kepada takdir
itu harap diwaspadai, diingat,
dicermati bila ingin menguasai seluruhnya.
26.Pamoring ujar iku,
kudu santosa ing budi teguh,
sarta sabar tawekal legaweng ati,
trima lila ambeg sadu,
weruh wekasing dumados.
Melaksanakan petuah itu
Harus kokoh budipekertinya
Teguh serta sabar
tawakal lapang dada
Menerima dan ikhlas apa adanya sikapnya dapat dipercaya
Mengerti “sangkan paraning dumadi”.
27.Sabaring tindak tanduk,
tumindake lan sakadaripun,
den ngaksama kasisipaning sasami,
sumimpanga ing laku dur,
ardaning budi kang ngradon.
Segala tindak tanduk
dilakukan ala kadarnya,
memberi maaf atas kesalahan sesama,
menghindari perbuatan tercela,
(dan) watak angkara yang besar.
28.Dadya wruh iya dudu,
yeku minangka pandaming kalbu,
ingkang mbuka ing kijabullah agaib,
sesengkeran kang sinerung,
dumunung telenging batos.
Sehingga tahu baik dan buruk,
Demikian itu sebagai ketetapan hati,
Yang membuka penghalang/tabir antara insan dan Tuhan,
Tersimpan dalam rahasia,
Terletak di dalam batin.
29.Rasaning urip iku,
krasa momor pamoring sawujud,
wujudullah sumrambah ngalam sakalir,
lir manis kalawan madu,
endi arane ing kono.
Rasa hidup itu
dengan cara manunggal dalam satu wujud,
Wujud Tuhan meliputi alam semesta,
bagaikan rasa manis dengan madu. Begitulah ungkapannya.
30.Endi manis ndi madu,
yen wus bisa nuksmeng pasang semu,
pasamohaning hebing kang Maha Suci,
kasikep ing tyas kacakup,
kasat mata lahir batos.
Mana manis mana madu,
apabila sudah bisa menghayati gambaran itu,
Bagaimana pengertian sabda Tuhan,
Hendaklah digenggam di dalam hati, sudah jelas dipahami secara lahir dan batin.
31.Ing batin tan kaliru,
kedhap kilap liniling ing kalbu,
kang minangka colok celaking Hyang Widi,
widadaning budi sadu,
pandak panduking liru nggon.
Dalam batin tak keliru,
Segala cahaya indah dicermati dalam hati,
Yang menjadi petunjuk dalam memahami hakekat Tuhan,
Selamatnya karena budi (bebuden) yang jujur (hilang nafsu),
Agar dapat merasuk beralih “tempat”.
32.ngGonira mamrih tulus,
kalaksitan ing reh kang rinuruh,
nggyanira mrih wiwal warananing galib,
paran ta lamun tan weruh,
sasmita jatining endhog.
Agar usahamu berhasil,
Dapat menemukan apa yang dicari,
upayamu agar dapat melepas penghalang kegaiban,
Apabila kamu tidak paham ; lihatlah tentang bagaimana terjadinya telur.
33.Putih lan kuningipun,
lamun arsa titah teka mangsul,
dene nora mantra-mantra yen ing lahir,
bisaa aliru wujud,
kadadeyane ing kono.
Putih dan kuningnya,
bila akan mewujud (menetas),
wujud datang berganti,
tak disangka-sangka,
bila kelahirannya
dapat berganti wujud,
Kejadiannya di situ !
34.Istingarah tan metu,
lawan istingarah tan lumebu,
dene ing njro wekasane dadi njawi,
rasakena kang tuwajuh,
aja kongsi kabesturon.
Dipastikan tidak keluar,
juga tidak masuk,
Kenyataannya yang di dalam akhirnya menjadi di luar,
Rasakan sunguh-sungguh,
Jangan sampai terlanjur tak bisa memahami.
35.Karana yen kebanjur,
kajantaka tumekeng saumur,
tanpa tuwas yen tiwasa ing dumadi,
dadi wong ina tan weruh,
dheweke den anggep dhayoh.
Sebab apabila sudah terlanjur,
akan tak tenang sepanjang hidup, tidak ada gunanya bila kelak mati,
Menjadi orang hina yang bodoh,
dirinya sendiri malah dianggap tamu.
KINANTI
1.Mangka kanthining tumuwuh,
salami mung awas eling,
eling lukitaning alam,
dadi wiryaning dumadi,
supadi nir ing sangsaya,
yeku pangreksaning urip.
Padahal bekal hidup,
selamanya waspada dan ingat,
Ingat akan pertanda yang ada
di alam ini,
Menjadi kekuatannya asal-usul, supaya lepas dari sengsara.
Begitulah memelihara hidup.
2.Marma den taberi kulup,
angulah lantiping ati,
rina wengi den anedya,
pandak panduking pambudi,
mbengkas kahardaning driya, s
upaya dadya utami.
Maka rajinlah anak-anakku,
Belajar menajamkan hati,
Siang malam berusaha,
merasuk ke dalam sanubari,
melenyapkan nafsu pribadi,
Agar menjadi (manusia) utama.
3.Pangasahe suci samun,
aywa esah ing salami,
samangsa wis kawistara,
lalandhepe mingis-mingis,
pasah wukir reksamuka,
kekes srabedaning budi.
Mengasahnya di alam sepi (semedi),
Jangan berhenti selamanya,
Apabila sudah kelihatan,
tajamnya luar biasa,
mampu mengiris gunung penghalang,
Lenyap semua penghalang budi.
4.Dene awas tegesipun,
weruh warananing urip,
miwah wisesaning tunggal,
kang atunggil rina wengi,
kang mukitan ing sakarsa,
gumelar ngalam sakalir.
Awas itu artinya,
tahu penghalang kehidupan,
serta kekuasaan yang tunggal,
yang bersatu siang malam,
Yang mengabulkan segala kehendak,
terhampar alam semesta.
5.Aywa sembrana ing kalbu,
wawasen wuwusireki,
ing kono yekti karasa,
dudu ucape pribadi,
mar¬ma den sambadeng sedya,
wewesen praptaning uwis.
Hati jangan lengah,
Waspadailah kata-katamu,
Di situ tentu terasa,
bukan ucapan pribadi,
Maka tanggungjawablah, perhatikan semuanya sampai tuntas.
6.Sirnakna semanging kalbu,
den waspada ing pangeksi,
yeku dalaning kasidan,
sinuda saka sathithik,
pamothahing napsu hawa,
linalatih mamrih titih.
Sirnakan keraguan hati,
waspadalah terhadap pandanganmu,
Itulah caranya berhasil,
Kurangilah sedikit demi sedikit godaan hawa nafsu,
Latihlah agar terlatih.
7.Aywa mamanuh nalutuh,
tanpa tuwas tanpa kasil,
kasalibuk ing srabeda,
marma dipun ngati-ati,
urip keh rencananira,
sambekala den kaliling.
Jangan terbiasa berbuat aib,
Tiada guna tiada hasil,
terjerat oleh aral,
Maka berhati-hatilah,
Hidup ini banyak rintangan,
Godaan harus dicermati.
8.Upamane wong lumaku,
marga gawat den liwati,
lamun kurang ing pangarah,
sayekti karendhet ing ri,
apese kasandhung padhas,
babak bundhas anemahi.
Seumpama orang berjalan,
Jalan berbahaya dilalui,
Apabila kurang perhitungan,
Tentulah tertusuk duri,
celakanya terantuk batu,
Akhirnya penuh luka.
9.Lumrah bae yen kadyaku,
atetamba yen wus bucik,
duweya kawruh sabodhag,
yen tan nartati ing kapti,
dadi kawruhe kinarya,
ngupaya kasil lan melik.
Lumrahnya jika seperti itu,
Berobat setelah terluka,
Biarpun punya ilmu segudang,
bila tak sesuai tujuannya,
ilmunya hanya dipakai mencari nafkah dan pamrih.
10.Meloke yen arsa muluk,
muluk ujare lir wali,
wola-wali nora nyata,
anggepe Pandhita luwih,
kaluwihane tan ana,
kabeh tandha-tandha sepi.
Baru kelihatan jika keinginannya muluk-muluk,
Muluk-muluk bicaranya seperti wali,
Berkali-kali tak terbukti,
merasa diri pandita istimewa,
Kelebihannya tak ada,
Semua bukti sepi.
11.Kawruhe mung ana wuwus,
wuwuse gumaib gaib,
kasliring thathit tan kena,
mancereng alise gathik,
apa Pandhita antiga,
kang mangkono iku kaki.
Ilmunya sebatas mulut,
Kata-katanya di gaib-gaibkan,
Dibantah sedikit saja tidak mau, mata membelalak alisnya menjadi satu,
Apakah yang seperti itu pandita palsu,..anakku ?
12.Mangka ta kang aran laku,
lakune ngelmu sajati,
tan dahwen pati openan,
lan panasten nora jail,
tan njurungi ing kahardan,
amung eneng mamrih ening.
Padahal yang disebut “laku”,
sarat menjalankan ilmu sejati tidak suka omong kosong dan tidak suka memanfaatkan hal-hal sepele yang bukan haknya,
Tidak iri hati dan jail,
Tidak melampiaskan hawa nafsu. Sebaliknya, bersikap tenang agar menggapai keheningan jiwa.
13. Kaonanging budi luhung,
bangkit ajur ajer kaki,
yen mangkono bakal cikal,
thukul wijining utami,
nadyan bener kawruhira,
yen ana kang nyulayani.
Luhurnya budipekerti,
pandai beradaptasi, anakku !
Demikian itulah awal mula,
tumbuhnya benih keutamaan,
Walaupun benar ilmumu,
bila ada yang mempersoalkan..
14.Tur kang nyulayani iku,
wus wruh yen kawruhe nempil,
nanging lahire angalah,
katingala angemohi,
mung ngenaki tyasing liyan,
aywa esak aywa serik.
Walau orang yang mempersoalkan itu, sudah diketahui ilmunya dangkal,
tetapi secara lahir kita mengalah,
berkesanlah persuasif,
sekedar menggembirakan hati orang lain.
Jangan sakit hati dan dendam.
15.Yeku ilapating wahyu,
yen yuwana ing salami,
marga wimbuhing nugraha,
saking heb kang Maha Suci,
cinancang pucuking cipta,
nora ucul-ucul kaki.
Begitulah sarat turunnya wahyu,
Bila teguh selamanya,
dapat bertambah anugrahnya,
dari sabda Tuhan Mahasuci,
terikat di ujung cipta,
tiada terlepas-lepas anakku.
16.Mangkono ingkang tinamtu,
tanpa nugrahaning Widi,
marma ta kulup den bisa,
mbusuki ujaring janmi,
pikoleh lahir batinnya,
iyeku budi premati.
Begitulah yang digariskan,
Untuk mendapat anugrah Tuhan.
Maka dari itu anakku,
sebisanya, kalian pura-pura menjadi orang bodoh terhadap perkataan orang lain,
nyaman lahir batinnya,
yakni budi yang baik.
17.Pantes tinulad tinurut,
laladane mrih utami,
utama kembanging mulya,
kamulyan ing jiwa dhiri,
ora yen ta ngeplekana,
lir luluhur nguni-uni.
Pantas menjadi suri tauladan yang ditiru,
Wahana agar hidup mulia,
kemuliaan jiwa raga.
Walaupun tidak persis,
seperti nenek moyang dahulu.
18.Ananging ta kudu-kudu,
sakadarira pribadi,
aywa tmggal tutuladan,
lamun tan mangkono kaki,
yekti tuna ing tumitah,
poma estokena kaki.
Tetapi harus giat berupaya, sesuai kemampuan diri,
Jangan melupakan suri tauladan,
Bila tak berbuat demikian itu anakku,
pasti merugi sebagai manusia.
Maka lakukanlah anakku !
Labels:
KAWERUH
Thanks for reading Agomo Ageming Aji & Serat Wedhatama. Please share...!
0 Comment for "Agomo Ageming Aji & Serat Wedhatama"